Senin, 20 Oktober 2014

PRINSIP PRINSIP IBADAH



KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dzat yang Maha Sempurna pencipta dan penguasa segalanya. Karena hanya dengan ridho-nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu makalah tentang “PRINSIP PRINSIP IBADAH”. Dengan harapan semoga tugas makalah ini bisa berguna dan ada manfaatnya bagi kita semua. Amiin.
Tak lupa pula penyusun sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut berpartisipasi dalam proses penyusunan tugas makalah ini, karena penulis sadar sebagai makhluk sosial penulis tidak bisa berbuat banyak tanpa ada interaksi dengan orang lain dan tanpa adanya bimbingan, serta rahmat dan karunia dari –Nya.




Mataram 2 Afril 2014
Klp III



DAFTAR ISI
CAVER
KATA PENGATAR ...........................................................................................................   i
DAFTAR ISI ......................................................................................................................   ii
BAB IPENDAHULUAN..................................................................................................   iii
a.       Latar belakang ...............................................................................................   1
b.      Rumusan masalah...........................................................................................   1
c.       Tujuan.............................................................................................................   1

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................   2
A.    PRINSIP PRINSIP IBADAH .........................................................................   2
1.      Pengertian prinsip dan ibadah ...............................................................  2
2.      Dasar Hukum ibadah .............................................................................  4
3.      Tujuan Ibadah .......................................................................................  4
4.      Macam-macam Ibadah........................................................................... 5
B.     MAQOSID SYARIAH..................................................................................... 6 
1.      Pengertian Maqashid Al-Syari’ah................................................................ 6
2.      Tujuan tujuan syariat  ..................................................................................  6
3.      Peran Maqashid Al-syari’ah dalam pengembangan hukum Islam............... 10
C.     BAB III ANALISIS PEMAKALAH.............................................................. 11
a.       Studi kasus.................................................................................................. 11
b.      Analisis kasus.............................................................................................. 13
c.       Solusi .......................................................................................................... 13
BAB IV PENUTUP ..........................................................................................................  15
a.       Kesimpulan .............................................................................................................  15
b.      Kritik dan saran .....................................................................................................   15
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................  16


BAB I
PENDAHULUAN
a.       Latar belakang
Ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa nash al-Qur’an dan Hadits Nabi selain menunjukkan hukum melalui bunyi bahasanya juga juga melalui ruh tasryi’ atau maqasid syari’at. Melalui Maqasid Syari’at inilah ayat-ayat dan hadist-hadist hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan metode istinbat seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf yang pada sisi lain juga disebut sebagai dalil. Berikut ini akan diuraikan pengertian maqasid syari’ah, peran maqashid syari’ah dalam menetapkan hukum menurut pandangan Imam Al-Syatibi, pengertian Al-Maslahah dalam hukum Islam, jenis-jenis Maslahah, dan penerapan Al-Maslahah sebagai dalil dan metodologi istinbat hukum.
b.      Rumusan masalah
1.      Apa prinsip prinsip ibadah itu…?
2.      Apa yang tujuan tujuan syariat islam ...?
3.      Bagimna kontribusi hukum islam dalam kehidupan sehari hari..?
c.       Tujuan
1.      Mengetahui Apa prinsip prinsip ibadah
2.      Mengetahui Apa yang tujuan tujuan syariat islam
3.      Mengetahui Bagimna kontribusi hukum islam dalam kehidupan sehari hari



BAB II
PEMBAHASAN

A.    PRINSIP PRINSIP IBADAH ISLAM

1.      Pengertian prinsip dan  ibadah.
Prinsip adalah suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum maupun individual yang dijadikan oleh seseorang/ kelompok sebagai sebuah pedoman untuk berpikir atau bertindak sedangkan ibadah Secara etimologi (bahasa) berasal dari bahasa arab yakni 'abada-ya'budu-'abdan wa 'ibadatan yang artinya menyembah, merendah diri, tunduk, patuh, taat, menghina diri dan memperhambakan diri kepada sesuatu. Sedangkan secara terminologi islam (istilah) berarti taat, tunduk, patuh dan merendah diri kepada Allah S.W.T. Ibnu Taimiyah (syaikhul islam) pernah memberi batasan,  كُلُّ شَيْءٍ اَحَبَّهُ اللهُ وَارْتَضَاه “Segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah.''[1]
Ada beberapa prinsip dalam ibadah yaitu sebagai berikut :
a.       Ada perintah
Adanya perintah merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Tanpa perintah, ibadah merupakan sesuatu yang terlarang, dalam sebuah kaidah diungkapkan:
"Asal mula ibadah itu terlarang, hingga ada ketentuan yang memerintahkannya"
b.      Tidak mempersulit (`Adamul Haraj)
Prinsip ini didasarkan kepada firman Allah yang artinya :
߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
c.       Menyedikitkan beban (Qilatuttaklif)
Prinsip ini didasarkan kepada firman Allah yang artinya :
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
d.      Ibadah hanya ditujukan kepada Allah Swt
Prinsip ini merupakan konsekuensi pengakuan atas kemahaesaan Allah Swt, yang dimanifestasikan sesorang muslim dengan kata-kata (kalimat tauhid) La ilaha Illallah.
e.       Ibadah tanpa perantara
Ibadah harus dilakukan oleh seorang hamba Allah tanpa melalui perantara, baik berupa benda, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun manusia. Adanya perantara dalam beribadah bertentangan dengan prinsip tauhid dan beribadah hanya kepada Allah semata. Hal ini dimaksudkan agar ibadah seseorang hamba benar-benar murni dan jauh dari perbuatan syirik.
f.       Ibadah dilakukan secara ikhlas
Ikhlas artinya murni, tulus, tidak ada maksud dan tujuan lain selain hanya kepada Allah. Ikhlas  dalam beribadah berarti beribadah tanpa merasa terpaksa, melainkan benar-benar murni untuk menunaikan perintah Allah Swt.
g.      Keseimbangan Jasmani dan Rohani
Sesuai dengan kodratnya bahwa manusia itu makhluk Allah yang terdiri atas jasmani dan rohani, maka ibadah mempunyai prinsip adanya keseimbangan diantara keduanya, Tidak hanya mengejar satu hal lalu meninggalkan yang lainnya, atau sebaliknya, akan tetapi keseimbangan antara keduanyalah yang harus dikerjakan.[2]

2.      Dasar Hukum ibadah

Banyak sekali ayat al-Qur'an yang berbicara tentang perintah beribadah, di antaranya:
وَمَا اُمِرُوْا اِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنُفَاءَ وَيُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْا الزكَّاَةَ وَذَالِكَ دِيْنُ اْلقَيِّمَةِ (البينة:٥)
Artinya:“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
3.      Tujuan Ibadah
Para ulama menyimpulkan dari beberapa ayat al-Qur'an dan al-Hadits, bahwa tujuan beribadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Sang Pencipta. Meskipun cara seorang hamba taqarrub kepada Sang Khaliq terkadang berbeda. Perbedaan ini muncul karena proses pencariannya yang berbeda. Sebagai contoh, Nabi Ibrahim a.s. untuk menunjukan keta'atan dan kepatuhannya kepada Allah, maka Dia mengujinya dengan cara memerintahkan anaknya yang tercinta Nabi Islamil a.s. untuk disembelih (al-Shaffat, 37:102).
$¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ þÎoTÎ) 3ur& Îû ÏQ$uZyJø9$# þÎoTr& y7çtr2øŒr& öÝàR$$sù #sŒ$tB 2ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»tƒ ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ $¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ þÎoTÎ) 3ur& Îû ÏQ$uZyJø9$# þÎoTr& y7çtr2øŒr& öÝàR$$sù #sŒ$tB 2ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»tƒ ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".
øŒÎ) tA$s% ß#ßqムÏmÎ/L{ ÏMt/r'¯»tƒ ÎoTÎ) àM÷ƒr&u ytnr& uŽ|³tã $Y6x.öqx. }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur öNåkçJ÷ƒr&u Í< šúïÏÉf»y
 (ingatlah), ketika Yusuf Berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, Sesungguhnya Aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."

4.      Macam-macam Ibadah
Pada dasarnya akhir tujuan beribadah bermuara kepada al-ma'bud yakni Allah SWT. Namun, para ulama membagi ibadah menjadi dua jenis, yakni :
a.        Ibadah mahdlah.
adalah:  ibadah khusus berupa perbuatan yang menghubungkan al-aabid dengan al-ma'bud dengan aturan yang sudah diatur oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.Contohnya shalat, zakat, puasa dan ibadah manasik haji.
b.       Ibadah ghair mahhdlah.
adalah: ibadah yang tidak diatur secara khusus oleh Allah dan Rasulullah sehingga berbentuk umum, berupa hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan lingkungan. Contohnya gotong royong, menolong orang, menjaga lingkungan dan sebagainya. [3]



B.     MAQASHID AL-SYARI’AH

1.      Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
Secara bahasa maqashid al-syari’ah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan Al-Syari’ah. Maqashid bentuk jamak dari “maqshid” yang berarti tujuan atau kesengajaan. Al-Syari’ah diartikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju sumber air ini
dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.
Sedangkan syari’ah menurut terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia di dunia dan akhirat.
Menurut Manna al-Qattan yang dimaksud dengan Syari’ah adalah segala ketentuan Allah yang disyari’atkan bagi hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.
Jadi, dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Maqashid al-Syari’ah adalah tujuan segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat manusia. .[4]

2.      Tujuan tujuan syariat.
Ibnu qayyim menjelaskan bahwa Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam.[5] Hal senada juga dikemukakan oleh al-syatibi, Ia menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Tak satupun hokum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma la yutaq’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan).Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi (Maqashid al-Syari’ah / Maqashid al-Khamsah) dimaksud adalah memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.
Untuk mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat, الضروريات مقاصد, حاجيات مقاصد  dan مقاصد التحسينات . Pengelompokan ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas. Urutan level ini secara hirarkhis akan terlihat kepentingan dan siknifikansinya, manakala masing-masing level satu sama lain saling bertentangan. Dalam konteks ini level Dharuriyyat menempati peringkat pertama disusul Hajiyyat dan Tahsiniyyat. level Dharuriat adalah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia.   Bila kebutuhan ini tidak terpenuhi akan mengancam eksistensi kelima tujuan diatas. Sementara level Hajiyyat tidak mengancam hanya saja menimbulkan kesulitan bagi manusia. Selanjutnya pada level Tahsiniyyat, adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah Swt. Sebagai contoh, dalam memelihara unsur Agama, aspek daruriayyatnya antara lain mendirikan Shalat, shalat merupakan aspek dharuriayyat, keharusan menghadap kekiblat merupakan aspek hajiyyat, dan menutup aurat merupakan aspeks tahsiniyyat.[6] Ketiga level ini, pada hakikatnya adalah berupaya untuk memelihara kelima misi hukum Islam.
Guna mendapatkan gambaran koprehensif tentang tujuan Syari’ah, berikut ini akan dijelaskan ketujuh misi pokok menurut kebutuhan dan skala prioritas masing-masing.
1)      Memelihara Agama (حفظ الدين)
Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
  1. Memelihara Agama dalam peringkat Dharuriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan Shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan maka akan terancamlah eksistensi Agama.
  2. Memelihara Agama dalam peringkat Hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan Agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang yang sedang berpergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.
  3. Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan. misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan pakaian dan tempat, ketiga ini kerap kaitannya dengan Akhlak yang terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya.
2)      Memelihara jiwa ( حفظ النف)
Memelihara jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a.       memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi jiwa manusia.
    1. memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang dan mencari ikan dilaut Belawan untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
    2. memelihara dalam tingkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
3)      Memelihara Aqal (حفظ العقل )
Memelihara aqal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
  1. Memelihara aqal dalam peringkat daruriyyat,seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi aqal.
  2. Memelihara aqal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menurut Ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak aqal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
  3. Memelihara aqal dalam peringkat tahsiniyyat. Seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi aqal secara langsung.
4)      Memelihara keturunan (حفظ النسل )
Memelihara keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
  1. memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
  2. memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu aqad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu aqad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl, sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis.
  3. memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’tkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
5)      Memelihara Harta  (حفظ المال)
Dilihat dari segi kepentingannya, Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
  1. memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti Syari’at tentang tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
  2. memelihara harta dalam peringkat hajiyyat seperti syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
  3. memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan mempengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.[7]
Dari paparan diatas, dapat dipahami bahwa tujuan atau hikmah pensyari’atan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan melalui pemeliharaan lima unsur pokok, yaitu agama, jiwa, Aqal, keturunan dan harta. Mengabaikan hal ini sama juga dengan merusak visi dan misi hokum islam. Dengan demikian akan menuai kemudharatan atau kesengsaraan hidup.

3.      Peranan maqasid syariah dalam pengembangan hukum islam

Pengetahuan tentang Maqashid Syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.[8]
Metode istinbat, seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqasid syari’ah. Qiyas, misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan maqasid syari’ahnya yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya minuman khamar (QS. al-Maidah : 90). Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqasid syari’at dari diharamkannya khamar ialah karena sifat memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan logis (‘illat) dari keharaman khamar adalah sifat memabukannya, sedangkan khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang sifatnya memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘illat hukum dalam suatu ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi). Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat meng-qiyas-kannya yang dikenal dengan al-maqis ‘alaih (tempat meng-qiyas-kan).[9]

BAB III
ANALISIS PEMAKALAH
a.       Studi kasus

Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang sampai saat ini masih menjadi problem nasional pemerintah Indonesia. Hal ini terlihat dari sebagian warga masyarakat desa yang taraf hidupnya masih rendah. Sejak orde baru hingga terjadinya krisis multi- dimensional pada tahun 1998 sampai sekarang, banyak dijumpai kasus-kasus kemiskinan yang terjadi di perkotaan maupun di daerah pedesaan.
Pada umumnya orang memakai istilah kemiskinan atau kemelaratan tidak mengetahui arti yang sesungguhnya. Bahwa sebenarnya istilah miskin tersebut sangat jelas artinya, yaitu dimana kebutuhan – kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi, pendapatan yang rendah atau kehidupan yang berada dibawah garis kemiskinan. Begitu, pula orang yang dianggap miskin juga jelas yaitu gelandangan, pengemis, pedagang asongan, buruh harian dan sebagainya  Dalam perspektif mikro, kompleksitas kemiskinan terkait dengan keadaan individu yang relatif memiliki keterbatasan untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Sejak dari dulu hingga sekarang umat manusia memiliki sikap yang berlainan terhadap kemiskinan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Qardhawy dalam bukunya “ Konsepsi Islam Dalam Mengentaskan Kemiskinan “bahwa ada beberapa sikap terhadap kemiskinan diantaranya sikap golongan pemuja kemiskinan, sikap kaum fatalis, sikap pendukung kemurahan individu, sikap kapitalisme dan sikap sosialisme
Agama dalam hal ini menjadi mempunyai arti penting bagi kehidupan umat beragama, sebab agama dapat memberikan bimbingan yaitu pengalaman yang telah ditanamkan sejak kecil, sehingga dari keyakinan dan pengalaman tersebut akan memudahkan dalam menghadapi persoalan. Selain itu agama dapat dijadikan penolong dalam kesukaran dan kesusahan, ketika menghadapi kekecewaan, agama dapat menentramkan jiwa dan batin seseorang. Agama juga berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam membina hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya. Sedangkan menurut Murtadlo   Muthahari, moral dan agama mempunyai hubungan yang sangat erat, karena agama merupakan dasar tumpuan akhlak dan moral, tidak ada sesuatu selain agama yang mampu mengarahkan pada tujuan yang agung dan terpuji.
Fenomena munculnya pengemis disini dapat diindikasikan karena himpitan ekonomi yang disebabkan sempitnya lapangan pekerjaan, sumber daya  alam yang kurang menguntungkan dan lemahnya sumber daya manusia (SDM). Menjamurnya jumlah pengemis di setiap kota di Indonesia, sehingga sosok pengemis dengan berbagai macam atributnya telah melahirkan sebuah persepsi yang kurang menyenangkan, baik dari sisi sosial, ekonomi maupun dari sisi Agama Deskripsi singkat diatas menggambarkan betapa masalah kemiskinan dan meningkatnya pengemis menjadi masalah sosial yang kompleks, lebih dari sebuah realitas yang selama ini dipahami masyarakat luas. Sehingga, masalah kemiskinan dan pengemis diperlukan adanya kesadaran, pemahaman yang komprehensif, baik dalam tataran konseptual, penyusunan kebijakan sampai kepada implementasi kebijakan dalam mengentaskan kemiskinan tersebut. Kemiskinan merupakan masalah sosial, pengemis serta gelandangan disini merupakan salah satu korban dari kemiskinan, sehingga mereka dianggap telah menyimpang dari nilai dan norma-norma yang berlaku. Menurut Parsudi Suparlan gelandangan dan pengemis dalam hal ini adalah orang sehat dengan kondisi tubuh yang tidak kurang apapun.8 Parsudi Suparlan juga berpendapat bahwa, gelandangan dan pengemis sebagai suatu gejala sosial yang terwujud di perkotaan dan telah menjadi suatu masalah sosial karena beberapa alasan. Pertama, di satu pihak menyangkut kepentingan orang banyak ( warga kota ) yang merasa wilayah tempat hidup dan kegiatan mereka sehari-hari, telah dikotori oleh para pengemis dan dianggap dapat menimbulkan ketidaknyamanan harta benda. Kedua, menyangkut kepentingan pemerintah kota, di mana gelandangan dan pengemis dianggap dapat mengotori jalan-jalan protokol, mempersukar pengendalian keamanan dan mengganggu ketertiban sosial. Sehingga munculnya asumsi bahwa lahirnya orang mengemis disebabkan oleh faktor ekonomi merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Namun apakah hanya kondisi kemiskinan seperti itulah yang dimungkinkan munculnya satu komunitas warga yang berprofesi dengan cara mengemis atau meminta – minta.
Akhir akhir ini banyak sekali orang oarang yang menjadikan meminta mita sebagi propesi yang sangat mengutungkan baginya dan bahkan mungkin sebagian keci para peminta di jalan jalan yang memang benar benar karena tuntutan kebutuhan sehari harinya dan sangat memungkinkan  keberagamaan dikalangan pengemis   masih kurang. Hal ini terlihat dalam keseharian mereka, yang sebagian besar diantara mereka yang berprofesi menjadi pengemis tidak melaksanakan kewajiban dalam dalam hal ini menunaikan sholat 5 waktu, hanya sebagian kecil yang tetap melaksanakan kewajiban menjalankan ibadahnya.

b.      Analisis kasus

Dilihat dari segi taklifinya maka meminta mita merupakan hal yang di perbolehkan dalam syariat islam selama mahkumbihnya selaraas dengan wad’inya akan.
Akan tetapi berdasarkan dari studi kasus diatas dapat diketahui bahwa pengemis yang bekerja dengan cara meminta-minta sampai sampai mengagu orang orang yang mengunanakan jalanan dan ibadah mahdohnya di lupakan merupakan salah satu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan tidak dianjurkan oleh agama karena meminta minta dalam rumusan syariat islam merupakan alternatif terakhir dalam memenuhi kebutuhan hidup untuk mejaga jwa sesuai dengan rumusan maqosid syariah yang ke dua yaitu HIFZUN NAFS tetapi bukan berarti islam menganjurkan untuk di jadikan sebagi sebuah propesi yang menguntungkan.

c.       Solusi
Bila kemiskinan dan para pengemis ingin teratasi maka jalailah salusi solusi yang di berikan  islam melalui syariatnya dengan sesungguh sunguhnya yaitu di antaranya:
1.      Bekerja.
Setiap orang yang hidup dalam masyarakat Islam diwajibkan bekerja atau mencari nafkah. Allah Azza wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ

”Dia-lah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”

2.      Mencukupi Keluarga Yang Lemah
Salah satu konsep syari’at Islam adalah bahwa setiap individu harus menanggulangi kemiskinan dengan mempergunakan senjatanya, yaitu dengan berusaha. Namun di balik itu, juga harus ada usaha untuk menolong orang-orang lemah yang tidak mampu bekerja.
Konsep yang dikemukakan untuk menanggulangi hal itu ialah dengan adanya jaminan antar anggota keluarga. Islam memerintahkan anggota keluarga saling menjamin dan mencukupi. Sebagian meringankan penderitaan anggota yang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, : ”...Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab Allah
3.      Zakat
Islam tidak bersikap acuh tak acuh dan membiarkan nasib fakir miskin terlantar. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menetapkan bagi mereka suatu hak tertentu yang ada pada harta orang-orang kaya, dan suatu bagian yang tetap dan pasti yaitu zakat. Sasaran utama zakat adalah untuk mencukupi kebutuhan orang-orang miskin. 

Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana.



BAB IV
PENUTUP
a.       Kesimpulan

Sesunguhnya syariat agama dalam hal ini rahmatallilaalamin bagi kehidupan umat beragama, sebab agama dapat memberikan bimbingan yaitu pengalaman yang telah ditanamkan sejak kecil, sehingga dari keyakinan dan pengalaman tersebut akan memudahkan dalam menghadapi persoalan. Selain itu agama dapat dijadikan penolong dalam kesukaran dan kesusahan, ketika menghadapi kekecewaan, agama dapat menentramkan jiwa dan batin seseorang. Agama juga berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam membina hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya. Sedangkan menurut Murtadlo   Muthahari, moral dan agama mempunyai hubungan yang sangat erat, karena agama merupakan dasar tumpuan akhlak dan moral, tidak ada sesuatu selain agama yang mampu mengarahkan pada tujuan yang agung dan terpuji.

b.      Kritik dan saran
Penulis menyadari sepenuhnya, makalah ini masih banyak kekurangan dan bahkan menimbulkan banyak pertanyaan yang belum sempat terjawab. Oleh karena itu, kritik, saran dan masukan yang konstruktif sangat penulis harapkan dari berbagai kalangan demi perbaikannya ke depan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca, terutama bagi mahasiswa IAIN MATARAM. Bagi penulis, semoga mendapat ridho Allah, sebagai amal sholeh dan menjadi ilmu yang bermanfaat fid al danya wa al akhirat. Amin..

DAFTAR PUSTAKA

Sapiudin shidiq,usul fiqih,Jakarta,kencana,2011.
Rahman Ritonga, Zainuddin, Fiqih Ibadah, Jakara: Gaya Media Pratama, 2002.
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta: Amzah, 2009.
Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997.






[1] Rahman Ritonga, Zainuddin, Fiqih Ibadah, Jakara: Gaya Media Pratama. 2002. Hal. 1
[2] ibid
[3] http://teh-imas.blogspot.com/2012/07/bab-i-prinsip-prinsip-iibadah-dan.html
[4] Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.196
[5]Ibn Qayyim, I’lam al-Muaqi’in Rabb al- ‘Alamin, (Beirut: Dar al-Jayl, t.th.), Jilid III h.3.
[6] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi ( Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997), h. 72.

[7] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.128 – 131.
[8] Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm.237                             
[9] Sapiudin shidiq,usul fiqih,jakarta:kencana,) hlm 223.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar