Jumat, 24 Oktober 2014

BIOGRAFI DAN KERANGKA BERPIKIR IMAM HNAPI




KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dzat yang Maha Sempurna pencipta dan penguasa segalanya. Karena hanya dengan ridho-nya penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu makalah tentang “BIOGRAFI  DAN KERANGKA BERPIKIR IMAM HNAPI ”. Dengan harapan semoga tugas makalah ini bisa berguna dan ada manfaatnya bagi kita semua. Amiin.
Tak lupa pula penyusun sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut berpartisipasi dalam proses penyusunan tugas makalah ini, karena penulis sadar sebagai makhluk sosial penulis tidak bisa berbuat banyak tanpa ada interaksi dengan orang lain dan tanpa adanya bimbingan, serta rahmat dan karunia dari –Nya.




Mataram 25 Afril 2014
Klp III



DAFTAR ISI
CAVER
KATA PENGATAR ...........................................................................................................   i
DAFTAR ISI ......................................................................................................................   ii
BAB IPENDAHULUAN..................................................................................................   iii
a.       Latar belakang ...............................................................................................   1
b.      Rumusan masalah...........................................................................................   1
c.       Tujuan.............................................................................................................   1

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................   2
a.       Biografi imam hanafi................................................................................................ 2
b.      Metode istinbathukum imam hanafi......................................................................... 6
BAB IV PENUTUP ..........................................................................................................  10
a.       Kesimpulan .............................................................................................................  10
b.      Kritik dan saran .....................................................................................................   10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................  11


BAB I
PENDAHULUAN
a.      Latar Belakang
Ada beberapa hal yang perlu disampaikan, Pertama, dalam Islam terdapat empat mazhab fiqih yang terkenal. Urutannya: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Inilah mazhab yang terkenal dalam fiqih Islam. Kedua, walaupun sudah ada ada empat mazhab tidak berarti bahwa semua syariat Islam itu telah dibicarakan oleh ke empat mazhab tersebut. Ini berarti, belum tentu pendapat di luar empat mazhab itu secara otomatis salah. Salah atau tidak mesti menggunakan pijakan dan patokan yang sudah disepakati yaitu quran dan hadits. Ketiga, barangkali ada baiknya ikhwanfillah mengetahui, mengapa hanya empat mazhab? Karena hanya empat mazhab yang lolos dari seleksi alam. Mengapa bisa lolos, sebab imam-imam dari ke empat mazhab ini mempunyai pengikut atau para murid yang rajin mencatat perkataan imamnya yang terus-menerus diwariskan hingga sampai kepada kita. Imam-imam yang diwariskan ilmu dari imam yang empat itu belum tentu kadarnya keimanannya di bawah imam yang empat, banyak diantaranya yang juga sangat pandai. Namun pendapat2 mereka akhirnya dinisbatkan kepada pemberi pendapat yang yang pertama, yaitu imam yang pertama. Berikut penjelasannya.
b.      Rumusan masalah
1.      Biografi Imam Abu Hanifah
2.      Metode Istinbath Hukum Abu Hanifah
c.       Tujuan
1.      Mengetahui Biografi Imam Abu Hanifah
2.      Mengetahui Metode Istinbath Hukum Abu Hanifah


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Imam Abu Hanifah
Nama asli Imam Hanafi adalah Abu Hanifah an-Nu’man bin Sabit bin Zuwati at-Taimi al-Kufi. Merupakan pendiri madzhab Hanafi, lahir di Kuffah pada tahun 80 H.[1] Ia dapat dikategorikan sebagai salah seorang tabi’in, karena setidaknya ia berjumpa dengan Basra, Abdullah bin Aufa di Kuffah, Abu Tufail di Mekkah, dan Sahl bin Sa’ad al-Sa’idi di Madinah. Hal inilah yang membuatnya sebagai ulama tabi’in yang menjadi rujukan para ulama dari generasi tabi’ at-tabi’in.Imam Abu Hanifah merupakan keturunan dari kebangsaan Afghanistan, kakek beliau Zauth berasal dari kota Kabul (Ibu Kota Afghanistan) termasuk salah seorang yang ditahan oleh tentara Islam pada zaman Kekhalifahan Utsman bin Affan ketika menaklukkan negara Persia, Khurasan dan Afghanistan, karena kakek beliau termasuk salah seorang pembesar negeri yang ditaklukkan itu. Pada waktu itu tawanan perang biasanya dibagi-bagikan kepada tentara Islam yang ikut berperang kemudian dijadikan budak. Demikian dengan Zauth setelah ditahan ia dijadikan budak oleh Bani Ta’im bin Tsa’labah, keturunan Arab dari suku Quraisy, kemudian ia pun masuk Islam. Zauth kemudian dimerdekakan dan memilih tempat kediaman di Kota Kuffah, ia menetap di sana sebagai pedagang sutra. Di kota itulah lahir putranya Tsabit, ayah Abu Hanifah.[2] Sejak masa mudanya Abu Hanifah dikenal rajin dan teliti dalam bekerja, fasih berbahasa Arab dan menunjukkan kecintaan yang dalam pada ilmu pengetahuan, terutama yang bertalian dengan hukum Islam, ia mengunjungi berbagai tempat untuk berguru kepada ulama terkenal sehingga Abu Hanifah mempunyai banyak guru. Abu Hanifah belajar fiqh kepada Hammad bin Abu Sulaiman, kemudian belajar hadits dan fiqh kepada Qatadah, Ata bin Abi Rabah, dan Nafi’ Maula (pembantu) Ibnu Umar, yang semuanya merupakan para fuqaha dari generasi tabi’in.[3]
Dengan kecerdasannya, Abu Hanifah menjadi seorang ahli fiqh yang mengungguli ulama pada zamannya, seperti Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila (74-148 H), qadi Kufah; Sufyan bin Sa’id as-Tsauri (97-161 H), ulama hadits dan fiqh yang memiliki banyak pengikut; dan Syuraik bin Abdullah an-Nakha’i (95-177 H), muhadits dan Qadi Kuffah. Banyak ulama ketika itu berpendapat bahwa apabila terdapat perbedaan pendapat di antara empat ulama ini yang masing-masing berdasarkan pada hadits ma’ruf, maka pendapat Abu Hanifah yang terbaik karena ia yang lebih teliti dan paling faqih dari tiga lainnya. Abu Hanifah juga terkenal sebagai pedagang yang kaya dan dermawan. Di kalangan kerabatnya, ia disebut sebagai orang yang ramah. Di kalangan pelajar, ia terkenal sebagai guru yang sabar dan siap menerima siapapun yang ingin belajar, malam maupun siang.[4]
Dalam kehidupan sehari-hari, Abu Hanifah sangat pendiam, menjalani kehidupan zuhud, dan wara’ ini. Abu Hanifah tidak pernah tergiur oleh kedudukan qadi yang kerap kali ditawarkan kepadanya. Ia tidak mau menjadi seorang penguasa hukum atau mendukung kegiatan khalifah yang berkuasa. Menurutnya, menjauhi kegiatan yang berkaitan dengan para penguasa adalah yang terbaik bagi kehidupan agamanya. Oleh karena itu, apabila setiap terjadi penggantian penguasa Kuffah dan Abu Hanifah ditawari jabatan qadi, niscaya ia menolaknya. Bahkan pernah terjadi, Yazid bin Hubairah (penguasa Kufah kala itu) menawarkan posisi qadi kepada Abu Hanifah, tetapi ditolaknya. Ia lalu didera seratus kali cambukan karena penolakan itu.[5] Abu Hanifah hidup di masa suhu politik tengah menghangati, yaitu saat terjadi peralihan kekuasaan dari tangan Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah. Ketika khalifah al-Mansur berkuasa di Baghdad, banyak ulama yang dipanggil ke kota itu, termasuk Abu Hanifah. Sekali lagi Abu Hanifah ditawari jabatan qadi, tetapi ia tetap menolaknya. Karena penolakan ini Abu Hanifah dijebloskan ke dalam penjara sampai ia meninggal dunia pada tahun 150 H.
Selain sebagai seorang ahli fiqh, Abu Hanifah juga seorang muhadits yang periwayatannya berkualitas siqqah (terpercaya). Hal ini dibenarkan oleh Ibnu Mu’in, seorang imam muhadits, yang menyebutnya sebagai periwayat hadits yang memiliki hafalan yang kuat. Hal ini dikuatkan lagi dengan dicantumkannya periwayatan hadits dari Abu Hanifah oleh an-Nasa’i dalam kitab Sunan an-Nasa’i, al-Bukhari di dalam kitab Sahih al-Bukhari pada bab Qira’ah, dan at-Tirmidzi dalam kitab asy- Syama’il. Bahkan al-Khawarizmi, seorang ahli hadits, menyusun kitab besar yang berjudul Musnad Abu Hanifah, yaitu sebuah kapital selekta hadits yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan disusun menurut bab fiqh. Hal ini menggugurkan pendapat yang mengatakan bahwa Abu Hanifah bukanlah seorang muhadits atau bahwa ia hanya meriwayatkan tujuh belas hadits yang dengannya ia membangun madzhabnya.[6]
Argumen lainnya yang menguatkan serta mengukuhkan Abu Hanifah sebagai muhadits adalah bahwa ia telah meriwayatkan sebanyak 215 hadits yang tidak diriwayatkan oleh para muhadits lainnya. Bahkan dalam sebuah musnad-nya, dalam bab “Shalat” saja ia meriwayatkan sebanyak 118 hadits. Oleh karena itu, Abu Hanifah sebenarnya adalah juga seorang muhadits, tetapi lebih menekuni bidang fiqh, berlainan dengan para ulama semasanya yang juga seorang faqih, tetapi lebih menekuni hadits, seperti Sufyan as-Tsauri. Sayangnya kecerdasan, dan kepandaian Abu Hanifah tidak membuahkan karya (baik fiqh maupun hadits) yang monumental, sehingga generasi setelah dia sangat kesulitan untuk mengkaji kembali pemikiranpemikiran beliau karena terbatasnya sumber orisonil. Ia hanya menulis artikel pendek, seperti artikelnya yang berjudul al-‘Alim wa al-Muta’allim (Guru dan Murid) dan sanggahannya terhadap aliran Qadariah. Semua artikel ini menyangkut masalah ilmu kalam, namun ia tidak menyusun dan menulis satu pun buku fiqh. Karena menurut pendapatnya, hasil pemikiran fiqh sangat relatif, hari ini difatwakan esok ditinggalkannya lagi. Oleh itu, Abu Hanifah lebih menerapkan kebebasan melakukan ijtihad kepada para murid dalam sistem pengajarannya. Adapun kitab fiqhnya yang ada sekarang adalah hasil kerja para muridnya setelah ia wafat. Beberapa karya Abu Hanifah yang dapat dijumpai di antaranya adalah: Al- Mabsut, Al-Jami’ ash-Shaghir dan Al-Jami’ al-Kabir.
Abu Hanifah ternyata kemudian menjadi tokoh yang dianut oleh banyak umat, dia ulama yang wara’ dan zuhud8. Kepandaian beliau dalam menguasai ilmu-ilmu agama, bahkan dia merupakan salah satu di antara ulama termasyhur di zamannya yang otoritas ijtihadnya diakui oleh umat.
Karena itulah kemudian muncul madzhab Hanafi, suatu aliran pemikiran fiqih atau ijtihad yang dinisbatkan pada dia, karena banyak murid-murid beliau yang menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya.
Bahkan dalam sejarahnya, di Mesir madzhab Hanafi pernah menjadi madzhab resmi negara, dan kedudukannya semakin dikukuhkan semenjak pemerintahan Muhammad Ali pada tahun 1805-1849, tidak hanya itu madzhab Hanafi juga pernah tersebar luar di negara-negara dibawah kekuasaan Pemerintah Abbasiyah, di Kerajaan Turki Utsmani, Asia Tengah, India, Turki dan Suri’ah.[7] Dan sampai sekarang madzhab Hanafi masih kokoh keberadaannya, madzhab Hanafi telah menjadi salah satu pilar keilmuan agama Islam dan menjadi salah satu madzhab di antara madzhab empat, yaitu Maliki, Hanbali dan Syafi’i yang telah menoreh sejarah gemilang terhadap kemajuan hukum Islam.
B.     Metode Istinbath Hukum Abu Hanifah
Pokok (usul) madzhab Hanafi dapat dilihat dari perkataan Ab Hanifah: “Saya menggunakan kitab Allah jika saya menemukan nash mengenai masalah. Mengenai hal-hal yang tidak ditemukan nash di dalamnya, saya gunakan sunnah Rasulullah SAW dan hadits shahih yang diriwayatkan oleh perawi yang siqqah. Apabila pada kedua sumber itu tidak ditemukan nash, saya gunakan pendapat para sahabat yang saya pilih dan meninggalkan yang tidak terpilih. Saya konsisten pada pendapat mereka dan tidak berpaling pada pendapat yang lainnya atau generasi sesudah mereka. Apabila masalah sudah sampai kepada Ibrahim an-Nakha’i, asy-Sya’bi, dan Ibnu al-Musayyab (para mujtahid dari kalangan tabi’in dan tabi’ at-tabi’in), maka saya berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”[8]
Ada pula yang menceritakan bahwa Abu Hanifah pernah berkata: “Pengetahuan kami ini adalah merupakan suatu pendapat. Djalan terbaik yang dapat kami tempuh. Barangsiapa sanggup mendapat yang lain,  maka pendapatya adalah untuk dia dan pendapat kami adalah untuk kami.”[9]
Sahal Ibnu Muzahim mengatakan bahwa: “Ucapan Abu Hanifah adalah merupakan pegangan kepada apa yang dipercaya, menjauhkan diri dari yang buruk, memperhatikan hal ihwal orang banyak, dan apa yang menjadi kebiasaan pada mereka dan apa yang memperbaiki keadaan mereka. ia memecahkan berbagai soal dengan menempuh jalan Qias. Apabila jalan ini tampaknya kurang tepat, maka ia menempuh jalan istihsan, selama jalan ini dapat ditempuh. Kalau ternyata bahwa jalan ini pun tak dapat ditempuh, maka ia beralih kepada cara-cara yang terkenal di kalangan kaum Muslimin.”[10]
Menurut al-Makki (ulama yang sezaman dengan Abu Hanifah) mengatakan, bahwa Abu Hanifah konsisten dalam menggunakan al- Qur'an, hadits dan pendapat para sahabat pada permasalahan yang memiliki nash. Adapun untuk permasalahan yang tidak memiliki dasar nash yang jelas, Abu Hanifah menggunakan ra’yu, yaitu qiyas, kemudian istihsan. Apabila belum berkenan juga, ia akan melihat kebiasaan kaum muslimin dalam menyikapi permasalahan yang bersangkutan. Kemudian Abu Hanifah memilih yang paling kuat di antara ketiganya. Secara hirarkis, pokok-pokok madzhab Hanafi adalah sebagai berikut:[11]
a.       Al-Qur'an, yang merupakan sumber tasyrik yang utama.
b.      Hadits Rasulullah SAW yang memiliki kualitas shahih.
c.       Pendapat para sahabat (aqwal as-sahabah), karena kepada merekalah al-Qur'an pertama kali diturunkan dan merekalah yang paling banyak mengetahui sebab turunnya al-Qur'an.
d.      Qiyas, Abu Hanifah menggunakannya jika tidak menemukan nash dari ketiga sumber di atas. Yang dimaksud dengan qiyas adalah penyetaraan hukum sebuah masalah yang tidak ada dasarnya dengan masalah lain yang ada nashnya dengan syarat bahwa terdapat persamaan ‘illat (alasan) di antara kedua masalah itu.
e.       Istihsan. Abu Hanifah menggunakan istihsan ketika ‘illat tidak memenuhi seluruh persyaratan al-maqis ‘alaih (suatu kasus yang kasus lain diqiyaskan kepadanya), qiyas menyalahi nash karena qiyas digunakan ketika nash tidak ada, atau qiyas menyalahi ijmak atau ‘urf.
f.       Ijmak, yaitu kesepakatan ulama dari masa ke masa tentang sebuah hukum, setidaknya ijmak ulama sampai masa hidup Abu Hanifah.
g.       Urf, yaitu perbuatan hukum kaum muslim yang lumrah tentang suatu masalah yang tidak ada dasarnya pada al-Qur'an, hadits dan perkataan sahabat. Abu Hanifah terkenal mahir dalam menggunakan qiyas dan istihsan dan memperdalam dua hal ini, demikian pula para sahabatnya, sehingga bertambah luaslah persoalan-persoalan fiqh dan bertambah luaslah persoalan-persoalan fiqh dan bertambah banyak orang yang mendalaminya. Masing-masing mereka mengadakan gambaran bermacammacam persoalan, dan mencari jawaban bagi setiap persoalan, yang membedakan mereka dengan cara orang-orang sebelumnya. Para ahli fiqh sebelumnya hanya memikirkan hukum-hukum kejadian yang sudah terjadi secara positif. Mereka tidak membayangkan kejadian-kejadian yang belum terjadi, tidak membuat risalah jawabannya, serta tidak membuat cabang-cabang hukum yang tidak terjadi secara nyata. Bahkan, sebagian dari mereka menolak untuk menjawab masalah yang tidak ada nashnya.[12]
Dengan demikian, kegiatan fiqh ra’yu ini berada di tangan Abu Hanifah dan rekan-rekannya beserta ahli fiqh di Irak. Hal ini menyebabkan terjadinya kemajuan baru dalam ilmu fiqh. Dan segi pendapat dan mencari illat serta sifat-sifat yang sesuai dengan hukum memungkinkan diletakannya hubungan jalan-jalan hukum antara sebagian dengan sebagian lainnya yang sebelumnya masih terpecah belah, dan memungkinkan dikembalikannya setiap kelompok persoalan kepada dasar landasan terbinanya jalan-jalan hukum, serta mengembalikan kepada kaidah yang mengaturnya sehingga menjadi suatu ilmu yang mempunyai banyak kaidah dan usul. Selanjutnya, orang-orang yang asalnya berdiri di atas periwayatan as-Sunnah dan takut membicarakan ar-ra’yu, kemudian mengambil ar-ra’yu atas nama al-qiyas dan al-masalih al-mursalah, sebagaimana yang nampak jelas dalam kitab-kitab madzhab 4 beserta kitab lainnya.[13]


BAB III
PENUTUP
a.      Kesimpulan
pokok-pokok madzhab Hanafi adalah sebagai berikut:
a.      Al-Qur'an, yang merupakan sumber tasyrik yang utama.
b.      Hadits Rasulullah SAW yang memiliki kualitas shahih.
c.       Pendapat para sahabat (aqwal as-sahabah), karena kepada merekalah al-Qur'an pertama kali diturunkan dan merekalah yang paling banyak mengetahui sebab turunnya al-Qur'an.
d.      Qiyas, Abu Hanifah menggunakannya jika tidak menemukan nash dari ketiga sumber di atas. Yang dimaksud dengan qiyas adalah penyetaraan hukum sebuah masalah yang tidak ada dasarnya dengan masalah lain yang ada nashnya dengan syarat bahwa terdapat persamaan ‘illat (alasan) di antara kedua masalah itu.
e.       Istihsan. Abu Hanifah menggunakan istihsan ketika ‘illat tidak memenuhi seluruh persyaratan al-maqis ‘alaih (suatu kasus yang kasus lain diqiyaskan kepadanya), qiyas menyalahi nash karena qiyas digunakan ketika nash tidak ada, atau qiyas menyalahi ijmak atau ‘urf.
f.        Ijmak, yaitu kesepakatan ulama dari masa ke masa tentang sebuah hukum, setidaknya ijmak ulama sampai masa hidup Abu Hanifah.
g.       Urf, yaitu perbuatan hukum kaum muslim yang lumrah tentang suatu masalah yang tidak ada dasarnya pada al-Qur'an, hadits dan perkataan sahabat.
b.       Kritik dan saran
Penulis menyadari sepenuhnya, makalah ini masih banyak kekurangan dan bahkan menimbulkan banyak pertanyaan yang belum sempat terjawab. Oleh karena itu, kritik, saran dan masukan yang konstruktif sangat penulis harapkan dari berbagai kalangan demi perbaikannya ke depan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca, terutama bagi mahasiswa IAIN MATARAM. Bagi penulis, semoga mendapat ridho Allah, sebagai amal sholeh dan menjadi ilmu yang bermanfaat fid al danya wa al akhirat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahab Khallaf, Khulasah Taarikh Tasyri’ al-Islami, terj. Ahyar Aminudiin, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Departemen Agama RI, Pengantar Ilmu Fiqh, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam: Proyek Pembinaan  PTA/IAIN Pusat, 1981.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1995
Said Agil Husin al-Munawwar, “Madzhab Fiqh” dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jilid III, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th..
Ahmad Sjalaby, Pembinaan Hukum Islam, cet. II, Djakarta: Djajamurni, t.th




[1] Ahmad Sjalaby, Pembinaan Hukum Islam, cet. II, Djakarta: Djajamurni, t.th., hlm. 103.
[2] Departemen Agama RI, Pengantar Ilmu Fiqh, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam: Proyek Pembinaan  PTA/IAIN Pusat, 1981, hlm 74
[3] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1995, cet ke-1, hlm 79
[4] Said Agil Husin al-Munawwar, “Madzhab Fiqh” dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
Jilid III, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.), hlm. 229.
[5] Said Agil Husin al-Munawwar, op. cit., hlm. 229.
[6] Ibid, hlm. 230.
[7] Lihat Ahmad Sjalaby, op. cit., hlm. 104.
[8] Said Agil Husin al-Munawwar, loc. cit.
[9] Dikutip dalam Ahmad Sjalaby, loc. cit.
[10] Ibid.
[11] Ibid, hlm. 230-231.
[12] Abdul Wahab Khallaf, Khulasah Taarikh Tasyri’ al-Islami, terj. Ahyar Aminudiin, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 92.
[13] Ibid, hlm. 92-93.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar