Selasa, 11 November 2014

piqih sahabat perbandingan mazhab



A.   Kondisi Awal Periode Sahabat ( Khulafa Ar-Rosidin )
Periode kedua dari masa perkembangan fiqih ini bermula sejak meninggalnya Nabi Muhammad SAW., pada tanggal 8 Juni 632 M / 11 H dan berahkir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai khalifah pada tahun 41 H ( 660 M ). Meninggalnya Nabi Muhammad SAW., merupakan peristiwa yang tak diharapkan di Kota Madinah dan tentu saja mengejutkan para sahabat. Tiga puluh tahun pasca Nabi Muhammad meninggal, persoalan umat muslim pada periode ini ditangani oleh sahabat.
Periode ini dikenal dengan periode sahabat yaitu masa para Khulafa Ar-Rasyidin. Urutannya sebagai berikut : Abu Bakar adalah sahabat pertama yang terpilih menjadi pengganti Nabi Muhammad SAW.,Abu Bakar ( 632 M – 634 M ) diganti oleh ‘Umar bin Khatthab ( 634 M – 644 M ), ‘Umar bin Khatthab diganti oleh Utsman bin Affan ( 644 M – 656 M ), dan Utsman bin ‘Affan diganti oleh ‘Ali bin Thalib ( 656 M – 661 M ).
Pada periode ini, daerah kekuasaan Islam bertambah luas, bahkan mencakup daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia yang sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dan stuktur masyarakat yang maju jika dibandingkan dengan masyarakat Arab ketika itu. Pada masa ini, Islam mulai berkembang dan melebarkan sayapnya dan mengibarkan panji-panji Islam dalam menjalankan misinya ke berbagai daerah di sekitar jazirah Arab, seperti Irak, Syria , Mesir daerah-daerah di Afrika Utara dan belahan dunia lainnya (Dedi Supriyadi, 2007 : 67 ).
B.   Ijtihad Sahabat dalam Penggalian Hukum Islam
Setelah Nabi Muhammad SAW., wafat, timbul dua pandangan yang berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat Islam dan hal ini berhubungan langsung dengan otoritas penetapan hokum. Kelompok pertama,memandang bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna Al-Qur’an setelah Nabi Muhammad SAW., wafat dipegang oleh Ahlul Bait.Hanya merekalah menurut nashdari Nabi Muhammad., yang harus dirujuk dalam menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini tidak memperoleh kesulitan dalam menghadapi terhentinya wahyu karena setelah Nabi Muhammad.,wafat masih terdapat para ahli waris yang terjaga dari kesalahan ( ma’shum ) dan mengetahuimakna Al-Qur’an, baik dalam dataran eksoteris ( luar ) maupun dalam dataran esoteric ( dalam ). Kelompok ini dikenal dengan kelompok Syiah.
Kelompok yang keduaberpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW.,tidak menentukan dan tidak pula menunjuk penggantinya sebelum beliau meninggal dunia untuk menafsirkan dan menetapkan perintah-perintah Allah. Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber hukum untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di masyarakat.Mereka kelak dikenal sebagai kelompok Ahli Sunnah atau Sunni.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa pengganti Nabi Muhammad SAW.,adalah Abu Bakar sebagao wakil dari kelompok Ahli Sunnah. Sementara ‘Ali wakil dari kelompok Syiah menjadi khalifah keempat. Artinya, Khalifah Abu Bakar menjadi pengemban pertama misi kerasulan pasca Nabi Muhammad SAW.,meninggal dengan segala problematika umat pada saat itu. Untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang baru muncul tersebut, para sahabat kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Hanya saja, sebagaimana diketahui, ayat-ayat yang berkenaan dengan hokum jumlahnya sedikit dan tidak pula semua persoalan yang timbul dapat dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Untuk menyelesaikan persoalan yang tidak dijumpai dalam kedua sumber hokum inilah, khalifah dan para sahabat berijtihad.Secara operasional, tiap-tiap khalifah berbeda dalam menggali hukum, misalnya Khalifah Abu Bakar, apabila ia tidak mendapatkan hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah, ia mengumpulkan para ulama’ sahabat dan merembukkan hal tersebut.Kemudian, apabila para sahabat bersepakat menetapkan suatu pendapat, Abu Bakar pun menetapkan hukum sesuai dengan pendapat yang disepakati.Sebagai contoh, ijma’ sahabat tentang pengumpulan Al-qur’an dalam satu mushaf pada masa Khalifah Abu Bakar.
Pola ijtihad Khalifah Abu Bakar dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baghawi dari Maimun bin Mahram, yang artinya :
“ Abu Bakar, apabila diadukan kepadanya perselisihan, ia melihat pada Kitabullah. Bila ditemukan hukum yang dapat memutuskan perkara mereka, ia putuskan dengan hokum tersebut. Akan tetapi, bila tidak mendapatkan dalam Kitabullah dan mengetahui Sunnah Rasulullah tentang hal tersebut, ia memutuskan dengan Sunnah tersebut. Bila tidak ditemukan juga ( dalam Sunnah , ia bertanya kepada sahaba, ‘ Apakah di antara kalian ada yang tahu Rasulullah menetapkan hokum dalam masalah ini ? Terkadang, beliau memperoleh berita bahwa Rasulullah pernah memutuskan perkara seperti itu dan terkadang tidak.

Umar bin Khattab juga melakukan hal yang sama. Bila tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka ia melihat apakah Abu Bakar pernah memutuskan permasalahan serupa ?bila Abu Bakar pernah memutuskannya dengan suatu keputusan, ia pun memutuskannya dengan keputusan Abu Bakar. Akan tetapi, bila tidak ditemukan, ia mengundang para tokoh masyarakat. Apabila dicapai kesepakatan, Umar pun memutuskan perkara dengan hasil keputusan tersebut.
Meskipun jalan ijtihadnya sama, ada perbedaan mendasar pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, yakni di masa Abu Bakar, jumlah ulama’ yang dikumpulkan untuk berembuk masih sedikit sehingga ijma’ masih dapat dijalankan dengan mudah. Berbeda halnya di zaman Khalifah Umar, mengadakan ijma’ mulai sulit, karena para sahabat terpencar di daerah-daerah baru yang jatuh di bawah kekuasan Negara Islam. Di antara mereka, ada yang tinggal di Mesir, Suria, Irak,dan Persia. Namun demikian, karena para ulama’ sahabat mempunyai wibawa besar, ijtihad mereka mudah diterima oleh masyarakat umum.Tegasnya, para sahabat yang memegang kewenangan berijtihad pada periode ini menetapkan hokum berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.Setelah mereka menyelidiki dengan sungguh-sungguh barulah berijtihad.
Khalifah ketiga adalah Utsman bin ‘Affan. Di antara pendapat Utsman bin ‘Affan adalah bahwa istri yang dicerai oleh suaminya yang sedang sakit, kemudian suaminya meninggal dunia karena sakit tersebut, mendapatkan harta pusaka, baik ia ( istri ) dalam waktu tunggu maupun tidak. Selain itu, Utsman bin ‘Affan membuat mushaf Al-Qur’an yang terkenal dengan mushaf Utsmani, maka pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ( 65 – 86 H ), Al-Qur’an diberi tanda sakal dan titik atas jasa Abu Aswad Addauly dan hadits dikodifikasi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz ( 99 H – 101 H ).
Khalifah keempat adalah ‘Ali bin Abi Thalib. Di antara pendapat ‘Ali ibn Abi Thalib adalah: Pertama, dalam Al-Qur’an terdapat larangan meminum khamr yang keharamannya ditetapkan secara berangsur-angsur. Akan tetapi, dalam tiga ayat tersebut tidak terdapat sanksi bagi yang melanggar keharaman tersebut ( Dedi Supriyadi, 2007 : 68 - 73 ).
Perkembangan fikih selanjutnya adalah pada masa shighar sahabat dan tabi’in (41-100 H / 661 – 750 M). Periode ini bermula pada saat pemerintahan ummat Islam diambil alih oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan (41 H) setelah melalui pergumalan politik yang panjang antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Thalib yang berakhir dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib dan penyerahan pemerintahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah ( Muhammad Khudori Bik,tt : 133 – 137 ).
Ibn al-Qayyim mencatat bahwa fiqh masa sahabat kecil dan tabi’in ini disebarkan oleh para pengikut 4 sahabat terkemuka yaitu Ibn Mas’ud, Zaid ibn Tzabit, Abdullah ibn Umar dan Abdullah ibn Abbas. Orang Madinah mengambil fiqh dari Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar, orang Mekah diwarisi oleh fikih Abdullah ibn Abbas dan orang Irak diwarisi oleh fikih Abdullah ibnu Mas’ud. Sedangkan ulama dari kalangan tabi’in bisa dicatat beberapa tokoh utamanya yaitu Atha ibn Rubah, Amr ibn Dinar, Ubaidah ibn Umair dan Ikrimah di Mekkah, Amr ibn Salamah, Hasan Bashri, Sakhtayani dan Abdullah ibn Auf di Bashrah, Alqamah ibn Qais an-Nakha’i, Syuraih ibn Haris dan Ubadah ibn Salmani di Kufah, Yazid ibn Abi Habib dan Bakir ibn Abdullah di Mesir, Hisyam ibn Yusuf dan Abdurrazaq ibn Hammam di Yaman dan banyak lagi fuqaha di Irak ( Ibnu al-Qoyyim,tt : 21 )
Mereka menjadi guru-guru yang terkenal di daerah masing-masing dan mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka. Dari perbedaan metode yang dikembangkan, maka munculah dalam peta pemikiran fikih dengan Aliran Hijaz (Madrasah al Hadits) dan Aliran Kufah (Madrasah al Ra’yu). Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam metode ijtihad. Aliran Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah saw, disamping kasus-kasus yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak memerlukan logika dalam berijtihad. Adapun Aliran Kufah dalam menjawab hukum lebih banyak menggunakan logika dalam berijtihad. Berijtihad menggunakan logika terus berkembang dalam rangka menjawab persoalan-persoalan baru yang terjadi sehingga lahirlah madzab-madzab awal dalam perkembangan fikih.
C.   Mufti – Mufti di Masa Sahabat
Diantara mufti-mufti yang terkenal dari pada sahabat, antara lain :
a.       Madinah
1.      Zaid bin Tsabit ( wafat tahun 45 H )
2.      Ubay bin Ka’ab ( wafat tahun 21 H )
3.      Abdullah bin ‘Umar ( wafat tahun 73 )
4.      Aisyah ( wafat tahun 57 H )

b.      Makkah
1.      Abdullah bin Abbas ( wafat tahun 68 H )
c.       Kuffah
1.      Ali bin Abi Thalib ( wafat tahun 40 H )
2.      Abdullah bin Mas’ud ( wafat tahun 32 H )
d.      Bashrah
1.      Abu Musa Al-‘Ash’ari ( wafat tahun 44 H )
e.       Syam
1.      Mu’azd bin Jabal ( wafat tahun 18 H )
2.      Ubadah bin Shamit ( wafat tahun 34 H )
f.       Mesir
1.      Abdullah bin Amr ( wafat tahun 65 H )
Ada sejumlah lebih kurang 130 sahabat yang bertindak sebagai mufti.Yang mendapat polularitas yang luas dalam masyarakat ialah tokoh-tokoh di atas. Kebanyakan mereka itu pada mulanya tinggal di Madinah, kemudian berpindah ke kota-kota lain. Oleh karena itu, pada mulanya ijtihad mereka bersifat ijtihad jam’iyah ( bersama ), setelah mereka pindah ke kota-kota lain barulah mereka ijtihad secara perseorangan ( pribadi ).
Adapun motif-motif untuk berijtihad para sahabat adalah ;
1.      Materi undang-undang asasi tidak mungkin difahami oleh semua umat Islam.
2.      Materi undang-undang tidak tersebar luas dalam masyarakat. Nash-nash Al-Qur’an dihimpun dalam lembaran-lembaran tertentu dan disimpan di rumah Rasul dan sebagian sahabat.
3.      Materi undang-undang yang telah ada hanya mengenai kejadian-kejadian yang telah ada saja dan hokum-hukum mengenai kejadian yang belum dan mungkin akan terjadi belum  disyari’atkan, sedangkan masyarakat  terus-menerus menghadapi persoalan-persoalan dan setiap masa tertentu terjadi transisi dan peristiwa yang memerlukan penjelasan hokum.
( Hasbi Ash-Shiddieqy,1967 :43-44 )




D.     Kondisi Hukum Islam ( Fiqih ) dan Perkembangannya pada Masa Sahabat
Madzab pertama terbentuk mula-mula dari beberapa pemikiran mandiri (ra’y) dari ulama secara perorangan secara tidak resmi, tapi lama kelamaan ia makin mendapat pengabsahan yang kokoh dari masyarakat, akhirnya secara bertahap tumbuh kesepakatan pendapat antara para ulama di tempat tertentu mengenai himpunan doktrin tertentu.
Sebenarnya, pada masa tabi’in terdapat 3 bagian geografis yang besar dalam dunia Islam, yaitu Irak, Hijaz dan Mesir. Irak sendiri memiliki 2 madzab yaitu Bashrah dan Kufah. Perkembangan pemikiran hukum di Kufah lebih dikenal dari pada di Bashrah. Hijaz juga memiliki 2 pusat kegiatan hukum yaitu Makkah dan Madinah. Namun, Madinah lebih menonjol dari pada Makkah. Madzab Syiria kurang tercatat dalam teks-teks buku awal. Mesir  tidak dimasukkan dalam peta madzab-madzab hukum awal karena ia tidak mengembangkan pemikiran hukumnya sendiri. Dengan demikian, madzab yang akan dikaji di sini adalah Madzab Kufah dan Madzab Madinah.
Para fuqaha yang berdomisili di Irak (Kufah) cenderung untuk menggunakan rasio dalam skala yang cukup luas dan memandang hukum syariat dalam takaran rasionalitas. Mereka gemar menyelami nash-nash yang ada dalam rangka menemukan ’illah, hikmah dan tujuan-tujuan moral yang berada dibalik hukum yang tampak. Kecenderungan baru ini mendapatkan tanggapan kritis dari para fuqaha yang tinggal di Hijaz (Madinah) yang memandang hukum sebagai ketentuan Allah yang wajib diikuti. Mereka lebih memilih memahami nash secara tekstual dan menganggap fatwa sahabat sebagai sumber hukum setelah Al Qur’an dan As Sunnah. Perkembangan lebih lanjut dari 2 kecenderungan ini melahirkan dua aliran dalam fiqh masa awal yaitu ahl al-ra’y di Kufah dan ahl al-hadits di Madinah.
Dengan demikian, cara melakukan ijtihad pada masa tabi’in mengarah kepada 2 bentuk, yaitu :
Pertama, lebih banyak menggunakan hadits atau sunnah dibandingkan dengan ra’yu. Cara ijtihad ini berkembang dikalangan ulama Madinah dengan tokohnya 1) Sa’id ibn al Musayyab, 2) ’Urwah Ibn Az-Zubair, 3) Abu Bakar Ibn ’Abd Rahman Al-Harits Ibn Hisyam Al-Makhzumi, 4) ’Ubaid Allah Ibn ’Abdullah Ibn ’Utbah Ibn Mas’ud, 5) Kharijah Ibn Zaid Ibn Tsabit, 6) Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr, 7) Sulaiman Ibna I-Yasar, Fuqaha Tujuh merupakan thabaqah pertama dalam madrasah Madinah. Thabaqah keduanya adalah : 1) ’Abd Allah Ibn ’Abd Allah Ibn ’Umar, 2) Salim Ibn ’Abd Allah Ibn ’Umar, 3) Aban ibn Utsman Ibn ’Affan, 4) Abu Salamah Ibn ’Abdurrahman Ibn ’Auf, 5) ’Ali Ibn Al-Husain Ibn ’Ali Ibn Abi Thalib, 6) Nafi’ Maula Ibn ’Umar. Diantara ulama thabaqah ketiga Aliran Madinah adalah : 1) Abu Bakr Muhammad Ibn ’Amr Ibn Hazm, 2) Muhammad Ibn Abu Bakr, 3) ’Abd Allah Ibn Abu Bakr, 4) ’Abdullah Ibn Utsman Ibn ’Affan, 5) Ja’far Ibn Muhammad Ibn ’Ali Ibn Al-Husain, 6) ’Abdullah Ibn Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddiq, 7) Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri. Cara ini lebih dikenal dengan sebutan ”Aliran Madinah”.
Kedua, lebih banyak menggunakan ra’yu dibandingkan dengan penggunaan sunnah. Cara ijtihad ini berkembang dikalangan ulama Kufah dengan tokoh 1) Ibrahim an-Nakha’i, 2) ’Alqamah Ibn Qais An Nakha’i, 3) Al-Aswad Ibn Yazid An-Nakha’i, 3) Abu Maisarah ’Amr Ibn Syarahil Al-Hamdani, 4) Masruq Ibn Al-Ajda’ Al-Hamdani, 5) ’Ubaidah As-Salmani, 6) Syuraih Ibn Al-Harits Al-Kindi, mereka adalah thabaqah pertama Madrasah Kufah, sedangkan diantara ulama thabaqah keduanya adalah : 1) Hamad Ibn Abi Sulaiman, 2) Manshur Ibn Al-Mu’tamir As-Salami, 3) Al-Mughirah Ibn Muqsim Adh-Dhabbi, 4) Sulaiman Ibn Mahran Al-A’masy,  cara ini lebih dikenal dengan sebutan ”Aliran Kufah”.
Ada 2 kecenderungan penting pada kedua madzab itu. Pertama, lahir metode deduksi-logis dalam bentuk qiyas. Namun karena cara berfikir analogis ini terkesan kaku, maka ditemukan metode berfikir yang lebih longgar, sebagai pengembangan dari qiyas, yaitu istihsan. Ini menunjukkan kembalinya kebebasan berpendapat dalam bentuk baru. Kedua, makin diperkokohnya konsep sunnah yang cenderung mengklaim generasi pendahulu sebagai sumber dalam rangka mengkokohkan tradisi. Kesamaan keduanya terletak pada metode dan garis perkembangan yang sama, yakni meninjau praktek hukum dan politik setempat dari sudut pandang kaidah tingkah laku dalam Al Qur’an. Namun sistem hukum mereka berbeda jauh yang disebabkan perbedaan ruang. Kebebasan pendapat yang dinikmati ulama Kufah membuahkan perbedaan pendapat yang tidak sedikit.
Secara geografis dan psikologis madzab Kufah lebih terbuka terhadap sistem hukum dari luar. Hal ini berbeda dengan situasi Madinah yang lebih homogen. Kemudian muncul oposisi terhadap metode hukum yang sudah mapan diterima oleh madzab-madzab pertama. Cirinya, dogmatis, ketat dan kaku. Mereka menuntut ketaatan yang lebih kuat terhadap norma-norma Al Qur’an. Namun mereka sepakat dengan madzab-madzab pertama dalam memproyeksikan sunnah ke belakang yang menjadikan Nabi Muhammad sebagai sumber utama hukum Al Qur’an. Oposisi ini lama-kelamaan mendorong madzab-madzab pertama untuk memodifikasi sistem hukumnya. Banyak aturan ketat yang dianjurkan oposan akhirnya diterima secara umum. Yang penting adalah meningkatkanya penerimaan Nabi sebagai sumber ajaran, dengan menyatakan ajaran tersebut dalam bentuk hadits. Sejalan dengan perkembangan tulis menulis dibidang hukum, terjadi perubahan pada tubuh madzab-madzab pertama. Ide keterkaitan tempat kemudian digantikan dengan keterkaitan pada tokoh penyusun buku hukum pertama. Madzab Madinah menjadi Madzab Malik, sedangkan madzab Kufah menjadi Madzab Hanafi.
Selanjutnya, pertentangan antara madzab-madzab pertama yang mapan, dan kaum oposisi yang dogmatis kini mengkristal menjadi konflik antara penganut kelonggaran pendapat pribadi (ahl al-Ra’y) dan penganjur penggunaan hadits Nabi semata secara ketat (ahl al-hadits). Lebih jauh perbedaan pendapat tidak hanya terjadi antara satu madzab dengan madzab yang lain, tetapi juga didalam masing-masing madzab. Hal ini menjadikan tidak adanya keseragaman hukum merupakan ciri utama hukum di masa itu.
Kesimpulannya, meskipun ulama tabi’in dalam berijtihad mengikuti petunjuk dari cara berijtihad ulama sahabat di masing-masing kota, namun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat dengan ulama sahabat, bahkan berebada dengan apa yang berlaku pada zaman Nabi. Qadi Syuraih dan beberapa ulama tabi’in, misalnya berfatwa tidak menerima kesaksian salah seorang suami-istri terhadap yang lain di peradilan dan kesaksian orang tua terhadap anaknya dan anak-anak terhadap orang tuanya. Fatwa tersebut berebeda dengan ketetapan khalifah Ali bin Abi Thalib. Alasan yang dikemukakan Qadi Syuraih adalah adanya unsur tuhmah dan kecintaan yang akan mempengaruhi mereka dalam kesaksiannya. Demikian pula, ulama tabi’in menetapkan ketidak bolehan perempuan keluar rumah untuk pergi ke masjid karena pada masa itu banyak orang yang usil dan fasik yang selalu mengganggu perempuan. Padahal hal itu diperbolehkan pada masa Rasulullah asalkan tidak memakai wewangian.
DAFTAR PUSTAKA
Dedy Supriady, Sejarah Hukum Islam, ( Bandung : CV. Pustaka Setia,2007)
Hasby Asy-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, ( Jakarta : CV. Mulia, 1967)