Senin, 27 Oktober 2014



KONSEP IMAN DALAM AJARAN ALIRAN MU’TAZILAH
Kemunculan aliran mu’tazilah dalam pemikiran toelogi islam diawali oleh masalah yang hampirsama dengan kedua aliran yaitu khawarij dan murjiah, mengenai status pelaku dosa dosa besar .Apakah masih beriman atau menjadi kafir .Bila Khawarij megkafirkan pelaku dosa besar dan murjiah memelihara keimanan pelaku dosa besar ,.Mu’tazilah tidak menentukan yang pasti bagi  pelaku dosa besar apakah  tetap mukmin atau kafir,kecuali dengan sebutan telah terkenal al manzilah bain manzilatain .setiap pelaku dosa besar menurut mu’tazilah menepati posisi tengah, diantara  posisi mukmin dan kafir.Jika menginggal dunia sebelum bertaubat  ,dia akan dimasukkan kedalam neraka selama-lamanya .Namun,siksaan yang di terimanya lebih ringan dibandingkan dengan orang kafir. dalam perkembangannya kemudian,beberapa tokoh mu’tazilah seperti wasil bin Atha dan amr bin Ubait memperjelah sebutan itu dengan istilah fasiq yang bukan mukmin  dan kafir,yang dikatagorikan sebagai netral dan indefenden . Seluruh pemikir mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan salah satu unsur penting dalam konsep iman ,bahkan konsep mereka hampir mengidentikkan dengan iman .Ini mudah dimengerti karna konsep mereka tentang amal sebagai bagian penting keimanan memilikik kertekaitan langsung dengan masalah janji dan ancaman yang merupakan salah satu pancasila dan mu’tazilah.[1]
            Aspek penting lainnya dalam konsep mu’tazilah tentang iman adalah tentang apa yang di identifikasikan sebagai makrifat  dalam pengetahuan dan akal.Ma,rifat menjadi unsur yang tak kalah penting dari iman  karna pandangan mu,tazilah yang bercorak rasional.Ma,rifat sebagai unsur pokok rasional dari iman berimplikasi pada setiap penolakan keimanan berdasarkan otoritas orang lain (al iman bi attaklid).Disini terlihat bahwa mu,tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis penggunaan akal bagi keimanan .Harus Nasution menjelaskan bahwa menurut Mu’tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal dan segala pengetahuan dapat di ketahui dengan pemikiran yang mendalam.dengan demikian ,menurut mereka,iman seseorang dapat dikatakan benar apabila didasarkan pada akal bukan pada taklid orang lain .Mengenai apa yang saja yang dikatakan sebagai dosa besar,aliran Mu’tazilah agaknya merumuskan dengan lebih konseptual ketimbang aliran Khawarij.Yang dimaksud dosa besar menurut mereka  adalah segala ancamannya disebutkan secara tegas dalam nash,sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya ,yaitu segala ketidak patuhan  yang segala ancamannya tidak disebutkan secara tegas di dalam nash.
            Masalah peluktuasi iman,yang merupakan persoalan teologi yang di wariskan aliran Murjiah ,disinggung pula mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa manakala seseorang meningkatkan dan melaksanakan amal kebaikannya ,imannya semakin bertambah.Setiap kali berbuat maksiat imannya semakin berkurang kenyataan ini dapat dipahami Mu’tazilah,seperti halnya Khawarij ,memasukkan unsur amal sebagai unsure penting dalam iman (al amal juzun min al iman).[2]
Bagi mu,tazilah tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemaha Esaannya.Tuhanlah satu-satunya  yang esa,yang unik dan tak ada satupun yang menyamainya oleh karena itu,hanya dialah yang Kadim,bila ada yang kadim lebih dari satu,maka telah terjadi ta’addud al-qudama(berbilangnya  zat yang tak berpemulaan)
Untuk memurnikan ke Esaan Tuhan (tanzih).Mu’tazilah menolak konsep:
1. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT.
Mu’tazilah mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti al-’Alim, al-Qadim, al-Qahir, al-Qadir, al-Qawi, al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang terkandung dalam al-asma’ al-husna, karena al-Qur’an mengakui hal tersebut. Selanjutnya mereka membagi sifat-sifat itu ke dalam dua kategori: Pertama, sifat yang berkenaan dengan esensi Tuhan, disebut Shifah dzatiyah, dan Kedua, sifat yang berkenaan dengan tindakan Allah dan berkaitan dengan makhluk, dikategorikan Shifat fi’liyah. Hanya saja Mu’tazilah tidak mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut sebagai suatu tambahan terhadap Dzat Allah (za’idah ‘ala al-dzat) atau berada di luar Dzat (wara’ al-dzat) sebagaimana pandangan Asya’irah. Mu’tazilah berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Dzat itu sendiri (‘ain al-dzat) . Karena jika sifat itu za’idah ‘ala al-dzat, berarti dia berada diluar Dzat, dan akan menyebabkan banyaknya jumlah yang Qadim (ta’addud al-qudama’), yaitu: Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, Kehidupan Allah, Kehendak Allah dan seterusnya. Hal ini bertentangan dengan Tauhid, karena seharusnya yang Qadim itu hanya Dzat Allah. Oleh sebab itulah sebagian besar mereka mengatakan:[3]
Allah Mengetahui dengan Dzat-Nya, bukan dengan Ilmu-Nya, Berkuasa dengan Dzat-Nya bukan dengan Kuasa-Nya, dan Berkehendak dengan Dzat-Nya bukan dengan Kehendak-Nya”.
2. Mengatakan al-Qur’an makhluk.
Mereka mengatakan bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan sifat Ilmu dan Qudrah (Kuasa), sebab hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah huruf-huruf yang teratur dan bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun ghaib . Kalam bukanlah sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun dia hanyalah sebuah istilah, yang tidak mungkin ada/terwujud kecuali melalui lidah. Dan Allah SWT sebagai Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu. Hakikat-hakikat yang mereka simpulkan inilah yang menyebabkan mereka mengatakan bahwa kalam itu adalah sesuatu yang bersifat baru (hadits), tidak bersifat qadim, sehingga pada gilirannya al-Qur’an sebagai Kalamullah adalah sesuatu yang hadits, dan sesuatu yang hadits itu adalah makhluk.
Jadi Mu’tazilah mengatakan al-Qur’an makhluk adalah sebagai hasil nalar mereka bahwa perkataan (kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim seperti ilmu dan sebagainya, tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur dan suara yang jelas, baik nyata atau ghaib.
3. Mengingkari bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
Mu’tazilah memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata telanjang di akhirat, Membawa pada ide yang sangat bertentangan dengan Tauhid yaitu tasybih, menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena menurut mereka, Ru’yah (pandangan) adalah kontak sinar (ittishal syu’a') antara “yang melihat” dengan “yang dilihat”, dan mereka memberikan satu syarat agar ru’yah itu bisa terjadi yaitu binyah (tempat/media), dan ru’yah tersebut mesti berhubungan dengan benda nyata (maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian, oleh karena itulah mereka mengatakan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT.
Dengan pendapat yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap ayat yang menggambarkan kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:
×nqã_ãr 7Í´tBöqtƒ îouŽÅÑ$¯R  4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. al-Qiyamah: 22-23)[4]
Mereka mengatakan bahwa kata (ناظرة) di sana tidak berarti melihat (رؤية) malainkan menunggu (انتظر) dan kata (إلى) bukanlah huruf jar melainkan musytaq (pecahan kata) dari kata (الآلاء) yang berarti nikmat, sehingga maksud ayat adalah: “Wajah-wajah itu menanti nikmat dari Tuhannya”.
Mereka juga mentakwil ayat:
ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
“Allah cahaya langit dan bumi” (QS. Al-Nur: 35)
Dengan mengatakan bahwa bukan berarti Allah itu adalah cahaya yang bisa dilihat, melainkan Allah memberikan cahaya kepada langit dan bumi.
Sedangkan terhadap hadits yang menyatakan orang mukmin di sorga bisa melihat Allah bahkan kondisinya sama dengan kondisi ketika kita melihat bulan purnama, hadits ini tidak diterima oleh Mu’tazilah dan mengatakan terdapat cacat pada Sanad-nya.
4. Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
Ini sejalan dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT, yaitu: “Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan atau membatasi jihah bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada suatu tempat dan tubuh (jism).Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam al-Qur’an yang menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan lain sebagainya.
5. Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan dengan manusia.
Demikian juga halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah juga memiliki anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil Wajah Allah dengan Dzat Allah itu sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan, Kekuatan dan Nikmat Allah dan lain sebagainya. Tujuannya tetap satu, yaitu Tanzih.[5]


DAFTAR PUSTAKA
DR. Abdul Rozak,M.Ag dan DR. rosihan anwar Mag. Ilmu kalam. Bandung:CV. Pustaka setia,2001.
Drs. H. M Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid,  Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Muhaimin, M., Ilmu Kalam, Sejarah dan Aliran-aliran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2004
Mutohar, Ahmad, Teologi Islam Konsep Iman, antara Mu’tazilah dan Asyari’ah, Yogyakarta: Teras, 2008
Nasution, Harun, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI, 1972



[1] Rosihan anwar & abd.razak, ilmu kalam,cv.pustaka setia,bandung,hlm 146
[2] Al-asyartani hlm 266-267
[3] Harun nasution, teologi islam,aliran-aliran sejarah analisa perbandingan jakarta hlmn 24
[4] Al,-qura’an QS. Al-Nur: 35
[5] Rosihan anwar & abd.razak, ilmu kalam,cv.pustaka setia,bandung,hlm 80

Tidak ada komentar:

Posting Komentar