KATA PENGANTAR
Segala
puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dzat yang Maha Sempurna
pencipta dan penguasa segalanya. Karena hanya dengan ridho-nya penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu makalah
tentang “PRINSIP PRINSIP IBADAH”. Dengan harapan semoga tugas makalah ini bisa
berguna dan ada manfaatnya bagi kita semua. Amiin.
Tak
lupa pula penyusun sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut
berpartisipasi dalam proses penyusunan tugas makalah ini, karena penulis sadar
sebagai makhluk sosial penulis tidak bisa berbuat banyak tanpa ada interaksi
dengan orang lain dan tanpa adanya bimbingan, serta rahmat dan karunia dari
–Nya.
Mataram
2 Afril 2014
Klp
III
DAFTAR
ISI
CAVER
KATA
PENGATAR ........................................................................................................... i
DAFTAR ISI
...................................................................................................................... ii
BAB
IPENDAHULUAN.................................................................................................. iii
a.
Latar belakang ............................................................................................... 1
b.
Rumusan masalah........................................................................................... 1
c.
Tujuan............................................................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN .................................................................................................. 2
A. PRINSIP
PRINSIP IBADAH ......................................................................... 2
1. Pengertian
prinsip dan ibadah ............................................................... 2
2.
Dasar Hukum
ibadah ............................................................................. 4
3.
Tujuan Ibadah ....................................................................................... 4
4.
Macam-macam
Ibadah...........................................................................
5
B.
MAQOSID SYARIAH.....................................................................................
6
1. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah................................................................
6
2. Tujuan tujuan
syariat .................................................................................. 6
3.
Peran Maqashid Al-syari’ah
dalam pengembangan hukum Islam...............
10
C.
BAB
III ANALISIS PEMAKALAH..............................................................
11
a.
Studi
kasus..................................................................................................
11
b.
Analisis
kasus..............................................................................................
13
c. Solusi .......................................................................................................... 13
BAB IV
PENUTUP .......................................................................................................... 15
a. Kesimpulan
............................................................................................................. 15
b. Kritik dan
saran ..................................................................................................... 15
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................................
16
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar belakang
Ulama ushul fiqh menyimpulkan bahwa nash al-Qur’an dan Hadits Nabi selain
menunjukkan hukum melalui bunyi bahasanya juga juga melalui ruh tasryi’
atau maqasid syari’at. Melalui Maqasid Syari’at inilah ayat-ayat
dan hadist-hadist hukum yang secara kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat
dikembangkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang secara kajian
kebahasaan tidak tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah. Pengembangan ini
dilakukan dengan menggunakan metode istinbat seperti qiyas, istihsan,
maslahah mursalah, dan ‘urf yang pada sisi lain juga disebut sebagai
dalil. Berikut ini akan diuraikan pengertian maqasid syari’ah,
peran maqashid syari’ah dalam menetapkan hukum menurut pandangan Imam
Al-Syatibi, pengertian Al-Maslahah dalam hukum Islam, jenis-jenis Maslahah, dan
penerapan Al-Maslahah sebagai dalil dan metodologi istinbat hukum.
b. Rumusan masalah
1.
Apa
prinsip prinsip ibadah itu…?
2.
Apa
yang tujuan tujuan syariat islam ...?
3.
Bagimna
kontribusi hukum islam dalam kehidupan sehari hari..?
c. Tujuan
1.
Mengetahui
Apa prinsip prinsip ibadah
2.
Mengetahui
Apa yang tujuan tujuan syariat islam
3.
Mengetahui
Bagimna kontribusi hukum islam dalam kehidupan sehari hari
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PRINSIP PRINSIP IBADAH ISLAM
1.
Pengertian
prinsip dan ibadah.
Prinsip adalah suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum
maupun individual yang dijadikan oleh seseorang/ kelompok sebagai sebuah pedoman untuk berpikir atau bertindak sedangkan ibadah
Secara etimologi (bahasa) berasal dari bahasa arab yakni 'abada-ya'budu-'abdan
wa 'ibadatan yang artinya menyembah, merendah diri, tunduk, patuh,
taat, menghina diri dan memperhambakan diri kepada sesuatu. Sedangkan secara
terminologi islam (istilah) berarti taat, tunduk, patuh dan merendah diri
kepada Allah S.W.T. Ibnu Taimiyah (syaikhul islam) pernah memberi batasan, كُلُّ شَيْءٍ
اَحَبَّهُ اللهُ وَارْتَضَاه
“Segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah.''[1]
Ada
beberapa prinsip dalam ibadah yaitu sebagai berikut :
a.
Ada perintah
Adanya perintah merupakan syarat sahnya suatu
ibadah. Tanpa perintah, ibadah merupakan sesuatu yang terlarang, dalam sebuah
kaidah diungkapkan:
"Asal
mula ibadah itu terlarang, hingga ada ketentuan yang memerintahkannya"
b.
Tidak mempersulit (`Adamul Haraj)
Prinsip
ini didasarkan kepada firman Allah yang artinya :
ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$#
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.
c.
Menyedikitkan beban (Qilatuttaklif)
Prinsip ini didasarkan kepada firman Allah yang
artinya :
w ß#Ïk=s3ã ª!$# $²¡øÿtR wÎ) $ygyèóãr
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya.
d.
Ibadah hanya ditujukan kepada Allah Swt
Prinsip ini merupakan konsekuensi pengakuan
atas kemahaesaan Allah Swt, yang dimanifestasikan sesorang muslim dengan
kata-kata (kalimat tauhid) La ilaha Illallah.
e.
Ibadah tanpa perantara
Ibadah harus dilakukan oleh seorang hamba Allah
tanpa melalui perantara, baik berupa benda, binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun
manusia. Adanya perantara dalam beribadah bertentangan dengan prinsip tauhid
dan beribadah hanya kepada Allah semata. Hal ini dimaksudkan agar ibadah
seseorang hamba benar-benar murni dan jauh dari perbuatan syirik.
f.
Ibadah dilakukan secara ikhlas
Ikhlas artinya murni, tulus, tidak ada maksud
dan tujuan lain selain hanya kepada Allah. Ikhlas dalam beribadah berarti beribadah tanpa merasa
terpaksa, melainkan benar-benar murni untuk menunaikan perintah Allah Swt.
g.
Keseimbangan Jasmani dan Rohani
Sesuai dengan kodratnya bahwa manusia itu
makhluk Allah yang terdiri atas jasmani dan rohani, maka ibadah mempunyai
prinsip adanya keseimbangan diantara keduanya, Tidak hanya mengejar satu hal
lalu meninggalkan yang lainnya, atau sebaliknya, akan tetapi keseimbangan
antara keduanyalah yang harus dikerjakan.[2]
2.
Dasar Hukum
ibadah
Banyak sekali
ayat al-Qur'an yang berbicara tentang perintah beribadah, di antaranya:
وَمَا اُمِرُوْا اِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ
مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنُفَاءَ وَيُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْا
الزكَّاَةَ وَذَالِكَ دِيْنُ اْلقَيِّمَةِ (البينة:٥)
Artinya:“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
3.
Tujuan Ibadah
Para ulama
menyimpulkan dari beberapa ayat al-Qur'an dan al-Hadits, bahwa tujuan beribadah
adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah Sang Pencipta. Meskipun cara seorang
hamba taqarrub kepada Sang Khaliq terkadang berbeda. Perbedaan ini
muncul karena proses pencariannya yang berbeda. Sebagai contoh, Nabi Ibrahim
a.s. untuk menunjukan keta'atan dan kepatuhannya kepada Allah, maka Dia
mengujinya dengan cara memerintahkan anaknya yang tercinta Nabi Islamil a.s.
untuk disembelih (al-Shaffat, 37:102).
$¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»t þÎoTÎ) 3ur& Îû ÏQ$uZyJø9$# þÎoTr& y7çtr2ør& öÝàR$$sù #s$tB 2ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»t ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ $¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»t þÎoTÎ) 3ur& Îû ÏQ$uZyJø9$# þÎoTr& y7çtr2ør& öÝàR$$sù #s$tB 2ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»t ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè? ( þÎTßÉftFy bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ
Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:
"Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu.
Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar".
øÎ) tA$s% ß#ßqã ÏmÎ/L{ ÏMt/r'¯»t ÎoTÎ) àM÷r&u ytnr& u|³tã $Y6x.öqx. }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur öNåkçJ÷r&u Í< úïÏÉf»y
(ingatlah), ketika Yusuf Berkata kepada
ayahnya: "Wahai ayahku, Sesungguhnya Aku bermimpi melihat sebelas bintang,
matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."
4.
Macam-macam
Ibadah
Pada
dasarnya akhir tujuan beribadah bermuara kepada al-ma'bud yakni Allah
SWT. Namun, para ulama membagi ibadah menjadi dua jenis, yakni :
a.
Ibadah mahdlah.
adalah: ibadah khusus berupa perbuatan yang
menghubungkan al-aabid dengan al-ma'bud dengan aturan yang sudah
diatur oleh Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.Contohnya shalat, zakat,
puasa dan ibadah manasik haji.
b.
Ibadah ghair mahhdlah.
adalah:
ibadah yang tidak diatur secara khusus oleh Allah dan Rasulullah sehingga
berbentuk umum, berupa hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan
lingkungan. Contohnya gotong royong, menolong orang, menjaga lingkungan dan
sebagainya. [3]
B. MAQASHID AL-SYARI’AH
1.
Pengertian Maqashid
Al-Syari’ah
Secara bahasa maqashid
al-syari’ah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan Al-Syari’ah. Maqashid
bentuk jamak dari “maqshid” yang berarti tujuan atau kesengajaan.
Al-Syari’ah diartikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju
sumber air. Jalan menuju sumber air ini
dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.
Sedangkan syari’ah menurut
terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus
mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia
di dunia dan akhirat.
Menurut Manna al-Qattan
yang dimaksud dengan Syari’ah adalah segala ketentuan Allah yang disyari’atkan
bagi hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.
Jadi, dari definisi di
atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Maqashid al-Syari’ah adalah
tujuan segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat manusia. .[4]
2.
Tujuan tujuan syariat.
Ibnu
qayyim menjelaskan bahwa Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan
kemashlahatan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung
keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang
dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam.[5]
Hal senada juga dikemukakan oleh al-syatibi, Ia menegaskan bahwa semua
kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Tak
satupun hokum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai
tujuan sama juga dengan taklif ma la yutaq’ (membebankan sesuatu yang
tidak dapat dilaksanakan).Dalam rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan
akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam
tersebut kedalam lima misi, semua misi ini wajib dipelihara untuk melestarikan
dan menjamin terwujudnya kemashlahatan. Kelima misi (Maqashid al-Syari’ah /
Maqashid al-Khamsah) dimaksud adalah memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan
dan Harta.
Untuk
mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu, al-Syatibi membagi kepada
tiga tingkat, الضروريات مقاصد, حاجيات مقاصد dan مقاصد التحسينات . Pengelompokan
ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas. Urutan level ini secara
hirarkhis akan terlihat kepentingan dan siknifikansinya, manakala masing-masing
level satu sama lain saling bertentangan. Dalam konteks ini level Dharuriyyat
menempati peringkat pertama disusul Hajiyyat dan Tahsiniyyat.
level Dharuriat adalah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi
kehidupan manusia. Bila kebutuhan ini
tidak terpenuhi akan mengancam eksistensi kelima tujuan diatas. Sementara level
Hajiyyat tidak mengancam hanya saja menimbulkan kesulitan bagi manusia.
Selanjutnya pada level Tahsiniyyat, adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan
martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah Swt. Sebagai contoh,
dalam memelihara unsur Agama, aspek daruriayyatnya antara lain mendirikan
Shalat, shalat merupakan aspek dharuriayyat, keharusan menghadap kekiblat
merupakan aspek hajiyyat, dan menutup aurat merupakan aspeks tahsiniyyat.[6]
Ketiga level ini, pada hakikatnya adalah berupaya untuk memelihara kelima misi
hukum Islam.
Guna
mendapatkan gambaran koprehensif tentang tujuan Syari’ah, berikut ini akan
dijelaskan ketujuh misi pokok menurut kebutuhan dan skala prioritas
masing-masing.
1)
Memelihara Agama (حفظ الدين)
Menjaga atau memelihara agama, berdasarkan
kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
- Memelihara Agama dalam peringkat Dharuriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan Shalat lima waktu. Kalau shalat itu diabaikan maka akan terancamlah eksistensi Agama.
- Memelihara Agama dalam peringkat Hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan Agama, dengan maksud menghindari kesulitan, seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang yang sedang berpergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang melakukannya.
- Memelihara agama dalam peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan. misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan pakaian dan tempat, ketiga ini kerap kaitannya dengan Akhlak yang terpuji. Kalau hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya.
2)
Memelihara jiwa ( حفظ النف)
Memelihara
jiwa, berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat:
a.
memelihara jiwa dalam peringkat daruriyyat,
seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi
jiwa manusia.
- memelihara jiwa, dalam peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang dan mencari ikan dilaut Belawan untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. kalau kegiatan ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
- memelihara dalam tingkat tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
3)
Memelihara Aqal (حفظ العقل )
Memelihara
aqal, dilihat dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
- Memelihara aqal dalam peringkat daruriyyat,seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi aqal.
- Memelihara aqal dalam peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menurut Ilmu pengetahuan. Sekiranya hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak aqal, tetapi akan mempersulit diri seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
- Memelihara aqal dalam peringkat tahsiniyyat. Seperti menghindarkan diri dari menghayal atau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika, tidak akan mengancam eksistensi aqal secara langsung.
4)
Memelihara keturunan (حفظ النسل )
Memelihara
keturunan, ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi
tiga peringkat:
- memelihara keturunan dalam peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
- memelihara keturunan dalam peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi suami pada waktu aqad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu tidak disebutkan pada waktu aqad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena ia harus membayar mahar misl, sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah tangganya tidak harmonis.
- memelihara keturunan dalam peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’tkan khitbah atau walimah dalam perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
5)
Memelihara Harta (حفظ المال)
Dilihat
dari segi kepentingannya, Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat:
- memelihara harta dalam peringkat daruriyyat, seperti Syari’at tentang tatacara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
- memelihara harta dalam peringkat hajiyyat seperti syari’at tentang jual beli dengan cara salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
- memelihara harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau etika bisnis. Hal ini juga akan mempengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang kedua dan pertama.[7]
Dari
paparan diatas, dapat dipahami bahwa tujuan atau hikmah pensyari’atan hukum
Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan melalui pemeliharaan lima unsur
pokok, yaitu agama, jiwa, Aqal, keturunan dan harta. Mengabaikan hal ini
sama juga dengan merusak visi dan misi hokum islam. Dengan demikian akan menuai
kemudharatan atau kesengsaraan hidup.
3.
Peranan maqasid syariah dalam pengembangan
hukum islam
Pengetahuan tentang Maqashid
Syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal yang
sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi Al-Qur’an
dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang sangat penting
lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh
Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.[8]
Metode istinbat,
seperti qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah
metode-metode pengembangan hukum Islam yang didasarkan atas maqasid syari’ah.
Qiyas, misalnya, baru bisa dilaksanakan bilamana dapat ditemukan maqasid
syari’ahnya yang merupakan alasan logis (‘illat) dari suatu hukum.
Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya minuman khamar (QS. al-Maidah :
90). Dari hasil penelitian ulama ditemukan bahwa maqasid syari’at dari
diharamkannya khamar ialah karena sifat memabukkannya yang merusak akal
pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan logis (‘illat) dari
keharaman khamar adalah sifat memabukannya, sedangkan khamar itu sendiri
hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat
dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang sifatnya
memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘illat hukum dalam suatu
ayat atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas
(analogi). Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau
hadis yang secara khusus dapat dijadikan tempat meng-qiyas-kannya yang
dikenal dengan al-maqis ‘alaih (tempat meng-qiyas-kan).[9]
BAB III
ANALISIS
PEMAKALAH
a.
Studi
kasus
Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang sampai
saat ini masih menjadi problem nasional pemerintah Indonesia. Hal ini terlihat
dari sebagian warga masyarakat desa yang taraf hidupnya masih rendah. Sejak
orde baru hingga terjadinya krisis multi- dimensional pada tahun 1998 sampai
sekarang, banyak dijumpai kasus-kasus kemiskinan yang terjadi di perkotaan
maupun di daerah pedesaan.
Pada umumnya orang memakai istilah kemiskinan atau
kemelaratan tidak mengetahui arti yang sesungguhnya. Bahwa sebenarnya istilah
miskin tersebut sangat jelas artinya, yaitu dimana kebutuhan – kebutuhan pokok
yang tidak terpenuhi, pendapatan yang rendah atau kehidupan yang berada dibawah
garis kemiskinan. Begitu, pula orang yang dianggap miskin juga jelas yaitu
gelandangan, pengemis, pedagang asongan, buruh harian dan sebagainya Dalam perspektif mikro, kompleksitas
kemiskinan terkait dengan keadaan individu yang relatif memiliki keterbatasan
untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Sejak dari dulu hingga sekarang umat manusia memiliki
sikap yang berlainan terhadap kemiskinan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr.
Yusuf Qardhawy dalam bukunya “ Konsepsi Islam Dalam Mengentaskan Kemiskinan
“bahwa ada beberapa sikap terhadap kemiskinan diantaranya sikap golongan
pemuja kemiskinan, sikap kaum fatalis, sikap pendukung kemurahan individu,
sikap kapitalisme dan sikap sosialisme
Agama dalam hal ini menjadi mempunyai arti penting bagi
kehidupan umat beragama, sebab agama dapat memberikan bimbingan yaitu
pengalaman yang telah ditanamkan sejak kecil, sehingga dari keyakinan dan
pengalaman tersebut akan memudahkan dalam menghadapi persoalan. Selain itu
agama dapat dijadikan penolong dalam kesukaran dan kesusahan, ketika menghadapi
kekecewaan, agama dapat menentramkan jiwa dan batin seseorang. Agama juga
berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam membina hubungan dengan
Tuhan, hubungan dengan manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya. Sedangkan
menurut Murtadlo Muthahari, moral dan
agama mempunyai hubungan yang sangat erat, karena agama merupakan dasar tumpuan
akhlak dan moral, tidak ada sesuatu selain agama yang mampu mengarahkan pada
tujuan yang agung dan terpuji.
Fenomena munculnya pengemis disini dapat
diindikasikan karena himpitan ekonomi yang disebabkan sempitnya lapangan
pekerjaan, sumber daya alam yang kurang
menguntungkan dan lemahnya sumber daya manusia (SDM). Menjamurnya jumlah
pengemis di setiap kota di Indonesia, sehingga sosok pengemis dengan
berbagai macam atributnya telah melahirkan sebuah persepsi yang kurang
menyenangkan, baik dari sisi sosial, ekonomi maupun dari sisi Agama Deskripsi
singkat diatas menggambarkan betapa masalah kemiskinan dan meningkatnya
pengemis menjadi masalah sosial yang kompleks, lebih dari sebuah realitas yang
selama ini dipahami masyarakat luas. Sehingga, masalah kemiskinan dan pengemis
diperlukan adanya kesadaran, pemahaman yang komprehensif, baik dalam tataran
konseptual, penyusunan kebijakan sampai kepada implementasi kebijakan dalam
mengentaskan kemiskinan tersebut. Kemiskinan merupakan masalah sosial, pengemis
serta gelandangan disini merupakan salah satu korban dari kemiskinan, sehingga
mereka dianggap telah menyimpang dari nilai dan norma-norma yang berlaku.
Menurut Parsudi Suparlan gelandangan dan pengemis dalam hal ini adalah
orang sehat dengan kondisi tubuh yang tidak kurang apapun.8 Parsudi
Suparlan juga berpendapat bahwa, gelandangan dan pengemis sebagai suatu gejala
sosial yang terwujud di perkotaan dan telah menjadi suatu masalah sosial karena
beberapa alasan. Pertama, di satu pihak menyangkut kepentingan orang
banyak ( warga kota ) yang merasa wilayah tempat hidup dan kegiatan mereka
sehari-hari, telah dikotori oleh para pengemis dan dianggap dapat menimbulkan
ketidaknyamanan harta benda. Kedua, menyangkut kepentingan pemerintah
kota, di mana gelandangan dan pengemis dianggap dapat mengotori jalan-jalan
protokol, mempersukar pengendalian keamanan dan mengganggu ketertiban sosial.
Sehingga munculnya asumsi bahwa lahirnya orang mengemis disebabkan oleh faktor
ekonomi merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Namun apakah hanya
kondisi kemiskinan seperti itulah yang dimungkinkan munculnya satu komunitas
warga yang berprofesi dengan cara mengemis atau meminta – minta.
Akhir akhir ini banyak sekali orang oarang yang
menjadikan meminta mita sebagi propesi yang sangat mengutungkan baginya dan
bahkan mungkin sebagian keci para peminta di jalan jalan yang memang benar
benar karena tuntutan kebutuhan sehari harinya dan sangat memungkinkan keberagamaan dikalangan pengemis masih kurang. Hal ini terlihat dalam
keseharian mereka, yang sebagian besar diantara mereka yang berprofesi menjadi
pengemis tidak melaksanakan kewajiban dalam dalam hal ini menunaikan sholat 5
waktu, hanya sebagian kecil yang tetap melaksanakan kewajiban menjalankan
ibadahnya.
b.
Analisis
kasus
Dilihat dari segi taklifinya maka meminta mita
merupakan hal yang di perbolehkan dalam syariat islam selama mahkumbihnya
selaraas dengan wad’inya akan.
Akan tetapi berdasarkan dari studi kasus diatas dapat diketahui bahwa
pengemis yang bekerja dengan cara meminta-minta sampai sampai mengagu orang
orang yang mengunanakan jalanan dan ibadah mahdohnya di lupakan merupakan salah
satu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial dan tidak dianjurkan
oleh agama karena meminta minta dalam rumusan syariat islam merupakan
alternatif terakhir dalam memenuhi kebutuhan hidup untuk mejaga jwa sesuai
dengan rumusan maqosid syariah yang ke dua yaitu HIFZUN NAFS tetapi bukan
berarti islam menganjurkan untuk di jadikan sebagi sebuah propesi yang
menguntungkan.
c.
Solusi
Bila
kemiskinan dan para pengemis ingin teratasi maka jalailah salusi solusi yang di
berikan islam melalui syariatnya dengan
sesungguh sunguhnya yaitu di antaranya:
1.
Bekerja.
Setiap orang
yang hidup dalam masyarakat Islam diwajibkan bekerja atau mencari nafkah. Allah
Azza wa Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
”Dia-lah yang
menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala
penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu
(kembali setelah) dibangkitkan.”
2.
Mencukupi
Keluarga Yang Lemah
Salah satu
konsep syari’at Islam adalah bahwa setiap individu harus menanggulangi
kemiskinan dengan mempergunakan senjatanya, yaitu dengan berusaha. Namun di
balik itu, juga harus ada usaha untuk menolong orang-orang lemah yang tidak
mampu bekerja.
Konsep yang
dikemukakan untuk menanggulangi hal itu ialah dengan adanya jaminan antar
anggota keluarga. Islam memerintahkan anggota keluarga saling menjamin dan
mencukupi. Sebagian meringankan penderitaan anggota yang lain. Allah Azza wa
Jalla berfirman, yang artinya, : ”...Orang-orang yang mempunyai hubungan
kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan
kerabat) menurut Kitab Allah
3.
Zakat
Islam tidak
bersikap acuh tak acuh dan membiarkan nasib fakir miskin terlantar.
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menetapkan bagi mereka suatu hak
tertentu yang ada pada harta orang-orang kaya, dan suatu bagian yang tetap dan
pasti yaitu zakat. Sasaran utama zakat adalah untuk mencukupi kebutuhan
orang-orang miskin.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya
zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang
dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk
(membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang
sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha mengetahui,
Maha bijaksana.
BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan
Sesunguhnya
syariat agama dalam hal ini rahmatallilaalamin bagi kehidupan
umat beragama, sebab agama dapat memberikan bimbingan yaitu pengalaman yang
telah ditanamkan sejak kecil, sehingga dari keyakinan dan pengalaman tersebut
akan memudahkan dalam menghadapi persoalan. Selain itu agama dapat dijadikan
penolong dalam kesukaran dan kesusahan, ketika menghadapi kekecewaan, agama
dapat menentramkan jiwa dan batin seseorang. Agama juga berfungsi untuk
memelihara integritas manusia dalam membina hubungan dengan Tuhan, hubungan
dengan manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya. Sedangkan menurut
Murtadlo Muthahari, moral dan agama
mempunyai hubungan yang sangat erat, karena agama merupakan dasar tumpuan
akhlak dan moral, tidak ada sesuatu selain agama yang mampu mengarahkan pada
tujuan yang agung dan terpuji.
b. Kritik dan saran
Penulis
menyadari sepenuhnya, makalah ini masih banyak kekurangan dan bahkan
menimbulkan banyak pertanyaan yang belum sempat terjawab. Oleh karena itu,
kritik, saran dan masukan yang konstruktif sangat penulis harapkan dari
berbagai kalangan demi perbaikannya ke depan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi seluruh pembaca, terutama bagi mahasiswa IAIN MATARAM. Bagi
penulis, semoga mendapat ridho Allah, sebagai amal sholeh dan menjadi ilmu yang
bermanfaat fid al danya wa al akhirat. Amin..
DAFTAR PUSTAKA
Sapiudin shidiq,usul fiqih,Jakarta,kencana,2011.
Rahman Ritonga, Zainuddin, Fiqih Ibadah, Jakara: Gaya Media Pratama,
2002.
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005
Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus
Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta: Amzah,
2009.
Asafri Jaya
Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi Jakarta:
Logos wacana Ilmu, 1997.
[1]
Rahman Ritonga, Zainuddin, Fiqih Ibadah, Jakara: Gaya Media Pratama.
2002. Hal. 1
[2]
ibid
[3]
http://teh-imas.blogspot.com/2012/07/bab-i-prinsip-prinsip-iibadah-dan.html
[5]Ibn
Qayyim, I’lam al-Muaqi’in Rabb al- ‘Alamin, (Beirut: Dar al-Jayl,
t.th.), Jilid III h.3.
[6] Asafri Jaya Bakri, Konsep
Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi ( Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997),
h. 72.
[7]
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian
pertama), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.128 – 131.
[9]
Sapiudin shidiq,usul fiqih,jakarta:kencana,) hlm 223.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar