KATA PENGANTAR
Segala
puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dzat yang Maha Sempurna
pencipta dan penguasa segalanya. Karena hanya dengan ridho-nya penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu makalah
tentang “MURTAD”. Dengan harapan semoga tugas makalah ini bisa berguna dan ada
manfaatnya bagi kita semua. Amiin.
Tak
lupa pula penyusun sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut
berpartisipasi dalam proses penyusunan tugas makalah ini, karena penulis sadar
sebagai makhluk sosial penulis tidak bisa berbuat banyak tanpa ada interaksi
dengan orang lain dan tanpa adanya bimbingan, serta rahmat dan karunia dari
–Nya.
Mataram
2 Afril 2014
Sapriadi
DAFTAR
ISI
CAVER
KATA
PENGATAR ........................................................................................................... i
DAFTAR ISI
...................................................................................................................... ii
BAB
IPENDAHULUAN.................................................................................................. iii
a. Latar
belakang ............................................................................................... iii
b. Rumusan
masalah........................................................................................... iii
c. Tujuan............................................................................................................. iii
BAB II
PEMBAHASAN .................................................................................................. 1
A.
DIVINISI MURTAD....................................................................................... 1
B.
PEMBAGIAN RIDDAH ................................................................................ 1
C.
PERSOALAN MURTAD
MENURUT QUR’AN.......................................... 2
D.
PERSOALAN MURTAD
MENURUT HADITS............................................
3
E.
PERBUATAN MURTAD DALAM
FIQIH....................................................
4
BAB III
PENUTUP ........................................................................................................... 6
a.
Kesimpulan .............................................................................................................. 6
b.
Kritik dan saran ...................................................................................................... 6
DAFTAR
PUSTAKA.........................................................................................................
7
BAB I
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Kehidupan di
dunia tidak terlepas dari aturan aturan syarak,karena syarak merupakan aturan
yang harus di patuhi oleh orang orang yang memelukuk agama islam akan tetapi
akhir akhir ini banyak sekali dari kalangan kamu muslimin baik pemuda, orang
tua,oang oarang awam bahakan orang orang berpangkat sekalipun, masih banyak
yang belum mengetahui hal hal yang menjadi aturan dalam hukum islam, bahakan
sesuatu yang paling krusialpun masih bnayak di lakukan, karena ketidak
tauannya, seperti perbuatan murtad atau keluar dari agama islam.
pemahaman yang
berkembang di kalangan msyarakt banyak mengenai murtad hanyalah terpokus pada
keluar dari ajaran islam dengan menyembah patug saja, padahal melalui
perkataan, perbuatan bahakan hati sekalipun bisa membawa ke dalam dunia
kemurtadan oleh karena itu pemakalah membuat makalah ini supaya bisa membantu
kita umat islam terutama mahasiswa dalam memahami arti murtad dan hal hal yang
bisa membawa kita kepada kemutadan sehinga bisa mawas diri dan waspada.
b.
Rumusan masalah
1.
Apa yang di maksud murtad…?
2.
Berpa pembagian Riddah …?
3.
Bagai mana pandangan al-qur’an,hadis dan piqih
mengenai murtad..?
c.
Tujuan
1.
Mengetahui Apa yang di maksud murtad
2.
Mengetahui Berpa pembagian Riddah
3.
Mengetahui Bagai mana pandangan al-qur’an,hadis
dan piqih mengenai
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Murtad
Secara etimologi Murtad berasal dari kata irtadda yang artinya raja’a
(kembali), sehingga apabila dikatakan irtadda ‘an diinihi maka artinya orang
itu telah kafir setelah memeluk Islam. Sedangkan menurut istilah, penulis
mengutip pengertian murtad menurut Al Kasani al Hanafi bahwa sudah termasuk
murtad orang-orang yang melontarkan kalimat kufur dengan lisan setelah adanya
iman, jadi riddah adalah kembalinya seseorang dari keimanan kepada kekufuran.
Sedang menurut Asy-Syarbaini asy-Syafi’i riddah adalah memutuskan atau
melepaskan diri dari Islam dengan niat atau pun perbuatan, demikian pula ucapan
baik yang berupa olok-olok, penentangan ataupun berbentuk keyakinan.
Dari pengertian dan penjelasan di atas dapat kita simpulkan bahwa riddah
adalah kembali atau berbaliknya seseorang dari keimanan. Perbuatannya yang
menyebabkan dia kafir atau murtad itu disebut sebagai riddah (kemurtadan).
Dengan kata lain adalah menjadi kafir sesudah berislam. Allah SWT. berfirman
:
y y`tBur ÷Ïs?öt öNä3ZÏB `tã ¾ÏmÏZÏ ôMßJusù uqèdur ÖÏù%2 y7Í´¯»s9'ré'sù ôMsÜÎ7ym óOßgè=»yJôãr& Îû $u÷R9$# ÍotÅzFy$#ur ( y7Í´¯»s9'ré&ur Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $ygÏù crà$Î#»yz
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam
kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat,
dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. QS. Al-Baqarah :
217).
B.
Macam – macam riddah
1. Riddah dengan sebab ucapan
Seperti
contohnya ucapan mencela Allah ta’ala atau Rasul-Nya, menjelek-jelekkan
malaikat atau salah seorang rasul. Atau mengaku mengetahui ilmu gaib, mengaku
sebagai Nabi, membenarkan orang yang mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain
Allah, beristighotsah kepada selain Allah dalam urusan yang hanya dikuasai
Allah atau meminta perlindungan kepada selain Allah dalam urusan semacam itu.
2. Riddah
dengan sebab perbuatan
Seperti
contohnya melakukan sujud kepada patung, pohon, batu atau kuburan dan
menyembelih hewan untuk diperembahkan kepadanya. Atau melempar mushaf di
tempat-tempat yang kotor, melakukan prkatek sihir, mempelajari sihir atau
mengajarkannya. Atau memutuskan hukum dengan bukan hukum Allah dan meyakini
kebolehannya.
3. Riddah
dengan sebab keyakinan
Seperti
contohnya meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini khamr, zina dan riba sebagai
sesuatu yang halal. Atau meyakini roti itu haram. Atau meyakini bahwa sholat
itu tidak diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman sesuatu yang jelas
disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah disepakati
keharamannya.
4. Riddah
dengan sebab keraguan
Seperti
meragukan sesuatu yang sudah jelas perkaranya di dalam agama, seperti meragukan
diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau meragukan kebenaran risalah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para Nabi yang lain. Atau meragukan
kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan ajaran Islam. Atau meragukan kecocokan
Islam untuk diterapkan pada zaman sekarang ini (lihat At-Tauhid li Shaffits
Tsaalits ‘Aliy, hal. 32-33)
C.
Persoalan
Murtad Menurut Qur’an
Qur’an Suci
adalah sumber syari’at Islam yang paling utama; oleh sebab itu akan kami
dahulukan. Soal pertama, dalam Qur’an tak ada satu ayat pun yang membicaraan
perihal murtad secara kesimpulan. Irtidad atau perbuatan
murtad yang terjadi karena menyatakan diri sebagai orang kafir atau
terang-terangan mengingkari Islam, ini tak dapat dijadikan patokan, karena
adakalanya orang yang sudah mengaku Islam, mempunyai pendapat atau melakukan
perbuatan yang menurut penilaian ulama ahli fiqih, bukanlah bersumber kepada
Islam. Mencaci-maki seorang Nabi atau menghina Qur’an, acapkali dijadikan
alasan untuk memperlakukan seseorang sebagai orang murtad, sekalipun ia secara
sungguh-sungguh mengaku sebagai orang beriman kepada Qur’an dan Nabi.
Soal kedua, pengertian umum bahwa Islam
menghukum mati orang murtad, ini tak ada dalilnya dalam Qur’an Suci. Dalam Encyclopaedia
of Islam, tuan Heffeming mengawali tulisannya tentang masalah murtad dengan
kata-kata: “Dalam Qur’an, ancaman hukuman terhadap orang yang murtad hanya akan
dilakukan di Akhirat saja”. Dalam salah satu wahyu Makkiyah terakhir, terdapat
uraian: “Barangsiapa kafir kepada Allah sesudah beriman -bukannya ia
dipaksa, sedang hatinya merasa tentram dengan iman, melainkan orang yang
membuka dadanya untuk kekafiran-, mereka akan ditimpa kutuk Allah, dan mereka
akan mendapat siksaan yang pedih” . Dari ayat ini terang sekali bahwa orang
murtad akan mendapat siksaan di Akhirat, dan hal ini tak diubah oleh wahyu yang
diturunkan belakangan takala pemerintah Islam telah berdiri, setelah Nabi Suci
hijrah ke Madinah.
Adapun dalil
yang paling meyakinkan bahwa orang murtad tidak dihukum mati, ini tercantum
dalam rencana kaum Yahudi yang diangan-angankan selagi mereka hidup di bawah
pemerintahan Islam di Madinah. Qur’an berfirman: “Dan golongan kaum Ahli
Kitab berkata: Berimanlah kepada apa yang diturunkan kepada arang-orang yang
beriman pada bagian permulaan hari itu, dan kafirlah pada bagian terakhir hari
itu”.
Bagaimana mungkin
orang yang hidup di bawah pemerintahan Islam dapat meng-angan-angankan rencana
semacam itu yang amat merendahkan martabat Islam, jika perbuatan murtad harus
dihukum mati? Surat al-Maidah adalah Surat yang diturunkan menjelang
akhir hidup Nabi Suci, namun dalam Surat itu perbuatan murtad dibebaskan dari
segala hukuman dunia: “Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara
kamu murtad dari agamanya, maka Allah akan mendatangkan kaum yang Allah cinta
kepada mereka dan mereka cinta kepada-Nya“.
D.
Persoalan
murtad menurut Hadits
Marilah kita
sekarang meninjau uraian Hadits, yang dalil Hadits inilah yang dipakai oleh
kitab-kitab fiqih sebagai dasar adanya hukuman mati bagi kaum murtad. Tak
sangsi lagi bahwa uraian Hadits yang bersangkutan mencerminkan uraian yang
timbul belakangan, namun demikian, jika Hadits itu kita pelajari dengan teliti,
sampailah pada kesimpulan, bahwa perbuatan murtad tidaklah dihukum, terkecuali
apabila perbuatan murtad itu dibarengi dengan peristiwa lain yang menuntut
suatu hukuman bagi pelakunya. Imam Bukhari yang tak sangsi lagi merupakan
penulis Hadits yang paling teliti dan paling hati-hati, amatlah tegas dalam hal
ini.
Dalam Kitab
Bukhari terdapat dua bab yang membahas masalah murtad; yang satu berbunyi: Kitabul-muharibin
min ahlil-kufri wariddah, artinya Kitab tentang orang yang berperang (melawan
kaum Muslim) dari golongan kaum kafir dan kaum murtad. Adapun yang satu
lagi berbunyi: Kitab istita-bal-mu’anidin wal-murtadin wa qitalihim, artinya
Kitab tentang seruan bertobat bagi musuh dan kaum murtad dan berperang
melawan mereka.
Dua judul itu sudah menjelaskan sendiri. Judul
yang pertama, menerangkan seterang-terangnya bahwa yang dibicarakan hanyalah
kaum murtad yang berperang melawan kaum Muslimin. Adapun judul yang kedua,
hubungan kaum murtad dengan musuh-musuh Islam. Itulah yang sebenarnya menjadi
pokok dasar seluruh persoalan; hanya karena salah paham sajalah maka dirumuskan
suatu ajaran yang bertentangan dengan ajaran Qur’an yang terang-benderang.
Banyak sekali
orang yang hanya menekankan satu Hadits yang berbunyi: “Barangsiapa murtad dari
agamanya, Bunuhlah dia”. Tetapi mengingat apa yang diungkapkan dalam Kitab
Bukhari bahwa yang dimaksud murtad ialah orang yang berbalik memerangi kaum
Muslimin, dan menghubungkan nama mereka dengan nama-nama musuh Islam, maka
terang sekali bahwa yang dimaksud oleh Hadits tersebut ialah orang yang
mengubah agamanya dan bergabung dengan musuh-musuh Islam lalu bertempur melawan
kaum Muslimin.
Hanya dengan
pembatasan dalam arti itulah, maka Hadits tersebut dapat disesuaikan dengan
Hadits lain, atau dengan prinsip-prinsip yang digariskan oleh Qur’an Suci.
Sebenarnya, kata-kata Hadits tersebut begitu luas sehingga mencakup segala
pergantian agama, agama apa saja. Jika demikian, maka orang non-Muslim yang
masuk Islam, atau orang Yahudi yang masuk Kristen, harus dibunuh. Terang sekali
bahwa uraian semacam itu tak dapat dilakukan kepada Nabi Suci. Maka Hadits
tersebut tak dapat diterima begitu saja tanpa diberi pembatasan dalam artinya.
E.
Perbuatan
Murtad dalam Fiqih
Jika kita
membaca kitab fiqih, di sana diuraikan bahwa mula-mula para ulama fiqih
menggariskan satu prinsip yang bertentangan sekali dengan Qur’an Suci, yakni
orang dapat dihukum mati karena murtad. Dalam Kitab Hidayah diuraikan:
“Orang yang murtad, baik orang merdeka maupun budak, kepadanya disajikan agama
Islam; jika ia menolak, ia harus dibunuh”. Tetapi setelah Kitab
Hidayah menguraikan prinsip tersebut, segera disusul dengan uraian yang
bertentangan dengan menyebut orang murtad sebagai “orang kafir yang melancarkan
perang (kafir harbiy) yang kepadanya telah disampaikan dakwah
Islam”. Ini menunjukkan bahwa dalam Kitab Fiqih pun, orang murtad yang dihukum
mati, ini disebabkan karena ia musuh yang memerangi kaum Muslimin.
Adapun mengenai
perempuan yang murtad, mereka tidak dihukum mati, karena alasan berikut ini:
“Alasan kami mengenai hal ini ialah, bahwa Nabi Suci melarang membunuh kaum
perempuan dan karena pembalasan yang sebenarnya (bagi kaum mukmin dan kafir)
itu ditangguhkan hingga Hari Kiamat, dan mempercepat pembalasan terhadap mereka
di dunia akan menyebabkan kekacauan, dan penyimpangan dari prinsip ini hanya
diperbolehkan apabila terjadi kerusakan di bumi berupa pertempuran, dan hal ini
tak mungkin dilakukan oleh kaum perempuan, karena kondisi mereka tak
mengizinkan”.
Ulama yang
menafsiri kitab itu menambahkan keterangan: “Menghukum mati orang murtad itu
wajib, karena ini akan mencegah terjadinya pertempuran yang merusakkan, dan ini
bukanlah hukuman karena menjadi kafir” (idem). Selanjutnya ditambahkan
keterangan sebagai berikut: “Hanya karena kekafiran saja, tidaklah menyebabkan
orang boleh dibunuh menurut hukum”. Terang sekali bahwa dalam hal pertempuran
dengan kaum kafir, ulama ahli fiqih berbuat kesalah-pahaman, dan nampak sekali
terjadi pertentangan antara prinsip yang digariskan oleh Qur’an dengan
kesalah-pahaman yang masuk dalam pikiran ulama ahli fiqih. Qur’an Suci
menggariskan seterang-terangnya bahwa orang murtad dihukum mati, bukan karena
kekafirannya melainkan karena hirab atau memerangi kaum Muslimin.
Adapun alasannya dikemukakan
seterang-terangnya bahwa menghukum mati orang karena kekafiran, ini
bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Tetapi ulama ahli fiqih salah paham,
bahwa kemampuan berperang, mereka anggap sebagai keadaan perang, suatu anggapan
yang tak masuk akal samasekali. Jika itu yang dimaksud, bahwa orang murtad
mempunyai kemampuan berperang, anak kecil dan erempuan pun dapat disebut harbiy
(orang berperang), karena anak kecil dan perempuan itu akan tumbuh menjadi
besar dan mempunyai kemampuan berperang.
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Murtad berasal
dari kata irtadda yang artinya raja’a (kembali), sehingga apabila dikatakan
irtadda ‘an diinihi maka artinya orang itu telah kafir setelah memeluk Islam
(lihat Mu’jamul Wasith, 1/338).Perbuatannya yang menyebabkan dia kafir atau
murtad itu disebut sebagai riddah (kemurtadan). Secara istilah makna riddah
adalah : menjadi kafir sesudah berislam. Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Barangsiapa diantara kalian yang murtad dari agamanya kemudian mati dalam
keadaan kafir maka mereka itulah orang-orang yang terhapus amalannya di dunia
dan akhirat. Dan mereka itulah penghuni neraka. Mereka kekal berada di
dalamnya.” (QS. Al-Baqarah : 217) (lihat At-Tauhid li Shaffits Tsaalits ‘Aliy,
hal. 32)
b.
Kiritik dan saran
Penulis menyadari sepenuhnya, makalah ini masih
banyak kekurangan dan bahkan menimbulkan banyak pertanyaan yang belum sempat
terjawab. Oleh karena itu, kritik, saran dan masukan yang konstruktif sangat
penulis harapkan dari berbagai kalangan demi perbaikannya ke depan. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca, terutama bagi mahasiswa IAIN
MATARAM. Bagi penulis, semoga mendapat ridho Allah, sebagai amal sholeh dan
menjadi ilmu yang bermanfaat fid al danya wa al akhirat. Amin..
DAFTAR PUSTAKA
Depertemen Agama RI, Ensiklopedi Islam,
(Jakarta: Anda Utama,1993). Makhrus Munajat, Hukum Pidana Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: TERAS, 2009).
Abdullah Ahmad Qadiri, Murtad Dikutuk Allah,
(Pustaka Mantiq, tth). Ahmad Choirul Rofiq, Benarkah Islam Menghukum Mati
Orang Murtad (kajian historis tentang perang riddah dan hubungan dengan
kebebasan beragama), (Ponorogo: STAIN Ponorogo PRESS, 2010).
Encyclopaedia
of Islam dan imam buhari.
QS. Al-Baqarah : 217)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar