KATA PENGANTAR
Segala
puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dzat yang Maha Sempurna
pencipta dan penguasa segalanya. Karena hanya dengan ridho-nya penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu makalah
tentang “BIOGRAFI DAN KERANGKA BERPIKIR
IMAM HNAPI ”. Dengan harapan semoga tugas makalah ini bisa berguna dan ada
manfaatnya bagi kita semua. Amiin.
Tak
lupa pula penyusun sampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang turut
berpartisipasi dalam proses penyusunan tugas makalah ini, karena penulis sadar
sebagai makhluk sosial penulis tidak bisa berbuat banyak tanpa ada interaksi
dengan orang lain dan tanpa adanya bimbingan, serta rahmat dan karunia dari
–Nya.
Mataram
25 Afril 2014
Klp
III
DAFTAR
ISI
CAVER
KATA
PENGATAR ........................................................................................................... i
DAFTAR ISI
...................................................................................................................... ii
BAB
IPENDAHULUAN.................................................................................................. iii
a.
Latar belakang ............................................................................................... 1
b.
Rumusan masalah........................................................................................... 1
c.
Tujuan............................................................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN .................................................................................................. 2
a.
Biografi imam hanafi................................................................................................ 2
b.
Metode istinbathukum imam hanafi......................................................................... 6
BAB IV
PENUTUP .......................................................................................................... 10
a. Kesimpulan
............................................................................................................. 10
b. Kritik dan
saran ..................................................................................................... 10
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................................
11
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Ada
beberapa hal yang perlu disampaikan, Pertama, dalam Islam terdapat empat mazhab
fiqih yang terkenal. Urutannya: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Inilah
mazhab yang terkenal dalam fiqih Islam. Kedua, walaupun sudah ada ada empat
mazhab tidak berarti bahwa semua syariat Islam itu telah dibicarakan oleh ke
empat mazhab tersebut. Ini berarti, belum tentu pendapat di luar empat mazhab
itu secara otomatis salah. Salah atau tidak mesti menggunakan pijakan dan
patokan yang sudah disepakati yaitu quran dan hadits. Ketiga, barangkali ada
baiknya ikhwanfillah mengetahui, mengapa hanya empat mazhab? Karena hanya empat
mazhab yang lolos dari seleksi alam. Mengapa bisa lolos, sebab imam-imam dari
ke empat mazhab ini mempunyai pengikut atau para murid yang rajin mencatat
perkataan imamnya yang terus-menerus diwariskan hingga sampai kepada kita.
Imam-imam yang diwariskan ilmu dari imam yang empat itu belum tentu kadarnya
keimanannya di bawah imam yang empat, banyak diantaranya yang juga sangat
pandai. Namun pendapat2 mereka akhirnya dinisbatkan kepada pemberi pendapat
yang yang pertama, yaitu imam yang pertama. Berikut penjelasannya.
b. Rumusan masalah
1.
Biografi Imam
Abu Hanifah
2.
Metode
Istinbath Hukum Abu Hanifah
c. Tujuan
1.
Mengetahui Biografi
Imam Abu Hanifah
2.
Mengetahui Metode
Istinbath Hukum Abu Hanifah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Imam
Abu Hanifah
Nama
asli Imam Hanafi adalah Abu Hanifah an-Nu’man bin Sabit bin Zuwati at-Taimi
al-Kufi. Merupakan pendiri madzhab Hanafi, lahir di Kuffah pada tahun 80 H.[1] Ia dapat
dikategorikan sebagai salah seorang tabi’in, karena setidaknya ia
berjumpa dengan Basra, Abdullah bin Aufa di Kuffah, Abu Tufail di Mekkah, dan
Sahl bin Sa’ad al-Sa’idi di Madinah. Hal inilah yang membuatnya sebagai ulama
tabi’in yang menjadi rujukan para ulama dari generasi tabi’ at-tabi’in.Imam
Abu Hanifah merupakan keturunan dari kebangsaan Afghanistan, kakek beliau Zauth
berasal dari kota Kabul (Ibu Kota Afghanistan) termasuk salah seorang yang
ditahan oleh tentara Islam pada zaman Kekhalifahan Utsman bin Affan ketika
menaklukkan negara Persia, Khurasan dan Afghanistan, karena kakek beliau
termasuk salah seorang pembesar negeri yang ditaklukkan itu. Pada waktu itu
tawanan perang biasanya dibagi-bagikan kepada tentara Islam yang ikut berperang
kemudian dijadikan budak. Demikian dengan Zauth setelah ditahan ia dijadikan
budak oleh Bani Ta’im bin Tsa’labah, keturunan Arab dari suku Quraisy, kemudian ia
pun masuk Islam. Zauth kemudian dimerdekakan dan memilih tempat kediaman di
Kota Kuffah, ia menetap di sana sebagai pedagang sutra. Di kota itulah lahir
putranya Tsabit, ayah Abu Hanifah.[2]
Sejak masa mudanya Abu Hanifah dikenal rajin dan teliti dalam bekerja, fasih
berbahasa Arab dan menunjukkan kecintaan yang dalam pada ilmu pengetahuan,
terutama yang bertalian dengan hukum Islam, ia mengunjungi berbagai tempat
untuk berguru kepada ulama terkenal sehingga Abu Hanifah mempunyai banyak guru.
Abu Hanifah belajar fiqh kepada Hammad bin Abu Sulaiman, kemudian belajar
hadits dan fiqh kepada Qatadah, Ata bin Abi Rabah, dan Nafi’ Maula (pembantu)
Ibnu Umar, yang semuanya merupakan para fuqaha dari generasi tabi’in.[3]
Dengan kecerdasannya, Abu Hanifah menjadi seorang ahli
fiqh yang mengungguli ulama pada zamannya, seperti Muhammad bin Abdurrahman bin
Abi Laila (74-148 H), qadi Kufah; Sufyan bin Sa’id as-Tsauri (97-161 H), ulama
hadits dan fiqh yang memiliki banyak pengikut; dan Syuraik bin Abdullah
an-Nakha’i (95-177 H), muhadits dan Qadi Kuffah. Banyak ulama ketika itu
berpendapat bahwa apabila terdapat perbedaan pendapat di antara empat ulama ini
yang masing-masing berdasarkan pada hadits ma’ruf, maka pendapat Abu Hanifah
yang terbaik karena ia yang lebih teliti dan paling faqih dari tiga lainnya.
Abu Hanifah juga terkenal sebagai pedagang yang kaya dan dermawan. Di kalangan
kerabatnya, ia disebut sebagai
orang yang ramah. Di kalangan pelajar, ia terkenal sebagai guru yang sabar dan
siap menerima siapapun yang ingin belajar, malam maupun siang.[4]
Dalam
kehidupan sehari-hari, Abu Hanifah sangat pendiam, menjalani kehidupan zuhud,
dan wara’ ini. Abu Hanifah tidak pernah tergiur oleh kedudukan qadi yang kerap
kali ditawarkan kepadanya. Ia tidak mau menjadi seorang penguasa hukum atau
mendukung kegiatan khalifah yang berkuasa. Menurutnya, menjauhi kegiatan yang
berkaitan dengan para penguasa adalah yang terbaik bagi kehidupan agamanya.
Oleh karena itu, apabila setiap terjadi penggantian penguasa Kuffah dan Abu
Hanifah ditawari jabatan qadi, niscaya ia menolaknya. Bahkan pernah terjadi,
Yazid bin Hubairah (penguasa Kufah kala itu) menawarkan posisi qadi kepada Abu
Hanifah, tetapi ditolaknya. Ia lalu didera seratus kali cambukan karena
penolakan itu.[5] Abu Hanifah hidup di masa suhu politik tengah
menghangati, yaitu saat terjadi peralihan kekuasaan dari tangan Bani Umayyah ke
Bani Abbasiyah. Ketika khalifah al-Mansur berkuasa di Baghdad, banyak ulama
yang dipanggil ke kota itu, termasuk Abu Hanifah. Sekali lagi Abu Hanifah ditawari
jabatan qadi, tetapi ia tetap menolaknya. Karena penolakan ini Abu Hanifah dijebloskan
ke dalam penjara sampai ia meninggal dunia pada tahun 150 H.
Selain sebagai seorang ahli fiqh, Abu Hanifah juga
seorang muhadits yang periwayatannya berkualitas siqqah (terpercaya).
Hal ini dibenarkan oleh Ibnu Mu’in, seorang imam muhadits, yang menyebutnya
sebagai periwayat hadits yang memiliki hafalan yang kuat. Hal ini dikuatkan
lagi dengan dicantumkannya periwayatan hadits dari Abu Hanifah oleh an-Nasa’i
dalam kitab Sunan an-Nasa’i, al-Bukhari di dalam kitab Sahih
al-Bukhari pada bab Qira’ah, dan at-Tirmidzi dalam kitab asy-
Syama’il. Bahkan al-Khawarizmi, seorang ahli hadits, menyusun kitab
besar yang berjudul Musnad Abu Hanifah, yaitu sebuah kapital selekta
hadits yang diriwayatkan dari Abu Hanifah dan disusun menurut bab fiqh. Hal ini
menggugurkan pendapat yang mengatakan bahwa Abu Hanifah bukanlah seorang
muhadits atau bahwa ia hanya meriwayatkan tujuh belas hadits yang dengannya ia
membangun madzhabnya.[6]
Argumen lainnya yang menguatkan serta mengukuhkan Abu
Hanifah sebagai muhadits adalah bahwa ia telah meriwayatkan sebanyak 215 hadits
yang tidak diriwayatkan oleh para muhadits lainnya. Bahkan dalam sebuah
musnad-nya, dalam bab “Shalat” saja ia meriwayatkan sebanyak 118 hadits. Oleh
karena itu, Abu Hanifah sebenarnya adalah juga seorang muhadits, tetapi lebih
menekuni bidang fiqh, berlainan dengan para ulama semasanya yang juga seorang
faqih, tetapi lebih menekuni hadits, seperti Sufyan as-Tsauri. Sayangnya
kecerdasan, dan kepandaian Abu Hanifah tidak membuahkan karya (baik fiqh maupun
hadits) yang monumental, sehingga generasi setelah dia sangat kesulitan untuk
mengkaji kembali pemikiranpemikiran beliau karena terbatasnya sumber orisonil.
Ia hanya menulis artikel pendek, seperti artikelnya yang berjudul al-‘Alim
wa al-Muta’allim (Guru dan Murid) dan sanggahannya terhadap aliran
Qadariah. Semua artikel ini menyangkut masalah ilmu kalam, namun ia tidak
menyusun dan menulis satu pun buku fiqh. Karena menurut pendapatnya, hasil
pemikiran fiqh sangat relatif, hari ini difatwakan esok ditinggalkannya lagi.
Oleh itu, Abu Hanifah lebih menerapkan kebebasan melakukan ijtihad kepada para
murid dalam sistem pengajarannya. Adapun kitab fiqhnya yang ada sekarang adalah
hasil kerja para muridnya setelah ia wafat. Beberapa karya Abu Hanifah yang
dapat dijumpai di antaranya adalah: Al- Mabsut, Al-Jami’
ash-Shaghir dan Al-Jami’ al-Kabir.
Abu Hanifah ternyata kemudian menjadi tokoh yang
dianut oleh banyak umat, dia ulama yang wara’ dan zuhud8.
Kepandaian beliau dalam menguasai ilmu-ilmu agama, bahkan dia merupakan salah
satu di antara ulama termasyhur di zamannya yang otoritas ijtihadnya diakui
oleh umat.
Karena itulah kemudian muncul madzhab Hanafi, suatu
aliran pemikiran fiqih atau ijtihad yang dinisbatkan pada dia, karena banyak
murid-murid beliau yang menyebarluaskan pemikiran-pemikirannya.
Bahkan dalam sejarahnya, di Mesir madzhab Hanafi
pernah menjadi madzhab resmi negara, dan kedudukannya semakin dikukuhkan
semenjak pemerintahan Muhammad Ali pada tahun 1805-1849, tidak hanya itu
madzhab Hanafi juga pernah tersebar luar di negara-negara dibawah kekuasaan
Pemerintah Abbasiyah, di Kerajaan Turki Utsmani, Asia Tengah, India, Turki dan
Suri’ah.[7]
Dan sampai sekarang madzhab Hanafi masih kokoh keberadaannya, madzhab Hanafi
telah menjadi salah satu pilar keilmuan agama Islam dan menjadi salah satu
madzhab di antara madzhab empat, yaitu Maliki, Hanbali dan Syafi’i yang telah
menoreh sejarah gemilang terhadap kemajuan hukum Islam.
B.
Metode
Istinbath Hukum Abu Hanifah
Pokok (usul) madzhab Hanafi dapat dilihat dari
perkataan Ab Hanifah: “Saya menggunakan kitab Allah jika saya menemukan nash
mengenai masalah. Mengenai hal-hal yang tidak ditemukan nash di dalamnya, saya
gunakan sunnah Rasulullah SAW dan hadits shahih yang diriwayatkan oleh perawi
yang siqqah. Apabila pada kedua sumber itu tidak ditemukan nash, saya
gunakan pendapat para sahabat yang saya pilih dan meninggalkan yang tidak
terpilih. Saya konsisten pada pendapat mereka dan tidak berpaling pada pendapat
yang lainnya atau generasi sesudah mereka. Apabila masalah sudah sampai kepada
Ibrahim an-Nakha’i, asy-Sya’bi, dan Ibnu al-Musayyab (para mujtahid dari
kalangan tabi’in dan tabi’ at-tabi’in), maka saya berijtihad
sebagaimana mereka berijtihad.”[8]
Ada pula yang menceritakan bahwa Abu Hanifah pernah
berkata: “Pengetahuan kami ini adalah merupakan suatu pendapat. Djalan terbaik
yang dapat kami tempuh. Barangsiapa sanggup mendapat yang lain, maka pendapatya adalah untuk dia dan pendapat
kami adalah untuk kami.”[9]
Sahal Ibnu Muzahim mengatakan bahwa: “Ucapan Abu
Hanifah adalah merupakan pegangan kepada apa yang dipercaya, menjauhkan diri
dari yang buruk, memperhatikan hal ihwal orang banyak, dan apa yang menjadi
kebiasaan pada mereka dan apa yang memperbaiki keadaan mereka. ia memecahkan
berbagai soal dengan menempuh jalan Qias. Apabila jalan ini tampaknya kurang
tepat, maka ia menempuh jalan istihsan, selama jalan ini dapat ditempuh. Kalau
ternyata bahwa jalan ini pun tak dapat ditempuh, maka ia beralih kepada
cara-cara yang terkenal di kalangan kaum Muslimin.”[10]
Menurut al-Makki (ulama yang sezaman dengan Abu
Hanifah) mengatakan, bahwa Abu Hanifah konsisten dalam menggunakan al- Qur'an,
hadits dan pendapat para sahabat pada permasalahan yang memiliki nash. Adapun
untuk permasalahan yang tidak memiliki dasar nash yang jelas, Abu Hanifah
menggunakan ra’yu, yaitu qiyas, kemudian istihsan. Apabila
belum berkenan juga, ia akan melihat kebiasaan kaum muslimin dalam menyikapi
permasalahan yang bersangkutan. Kemudian Abu Hanifah memilih yang paling kuat
di antara ketiganya. Secara hirarkis, pokok-pokok madzhab Hanafi adalah sebagai
berikut:[11]
a.
Al-Qur'an, yang merupakan sumber tasyrik yang
utama.
b.
Hadits Rasulullah SAW yang memiliki kualitas shahih.
c.
Pendapat para sahabat (aqwal as-sahabah),
karena kepada merekalah al-Qur'an pertama kali diturunkan dan merekalah yang
paling banyak mengetahui sebab turunnya al-Qur'an.
d.
Qiyas, Abu Hanifah menggunakannya jika tidak menemukan nash
dari ketiga sumber di atas. Yang dimaksud dengan qiyas adalah penyetaraan hukum
sebuah masalah yang tidak ada dasarnya dengan masalah lain yang ada nashnya
dengan syarat bahwa terdapat persamaan ‘illat (alasan) di antara kedua masalah
itu.
e.
Istihsan. Abu Hanifah menggunakan istihsan ketika ‘illat tidak
memenuhi seluruh persyaratan al-maqis ‘alaih (suatu kasus yang kasus
lain diqiyaskan kepadanya), qiyas menyalahi nash karena qiyas digunakan ketika
nash tidak ada, atau qiyas menyalahi ijmak atau ‘urf.
f.
Ijmak, yaitu kesepakatan ulama dari masa ke masa tentang
sebuah hukum, setidaknya ijmak ulama sampai masa hidup Abu Hanifah.
g.
‘Urf,
yaitu perbuatan hukum kaum muslim yang lumrah tentang suatu masalah yang tidak
ada dasarnya pada al-Qur'an, hadits dan perkataan sahabat. Abu Hanifah terkenal
mahir dalam menggunakan qiyas dan istihsan dan memperdalam dua hal ini,
demikian pula para sahabatnya, sehingga bertambah luaslah persoalan-persoalan
fiqh dan bertambah luaslah persoalan-persoalan fiqh dan bertambah banyak orang
yang mendalaminya. Masing-masing mereka mengadakan gambaran bermacammacam
persoalan, dan mencari jawaban bagi setiap persoalan, yang membedakan mereka
dengan cara orang-orang sebelumnya. Para ahli fiqh sebelumnya hanya memikirkan
hukum-hukum kejadian yang sudah terjadi secara positif. Mereka tidak
membayangkan kejadian-kejadian yang belum terjadi, tidak membuat risalah
jawabannya, serta tidak membuat cabang-cabang hukum yang tidak terjadi secara
nyata. Bahkan, sebagian dari mereka menolak untuk menjawab masalah yang tidak
ada nashnya.[12]
Dengan demikian, kegiatan fiqh ra’yu ini berada di
tangan Abu Hanifah dan rekan-rekannya beserta ahli fiqh di Irak. Hal ini
menyebabkan terjadinya kemajuan baru dalam ilmu fiqh. Dan segi pendapat dan
mencari illat serta sifat-sifat yang sesuai dengan hukum memungkinkan diletakannya
hubungan jalan-jalan hukum antara sebagian dengan sebagian lainnya yang sebelumnya
masih terpecah belah, dan memungkinkan dikembalikannya setiap kelompok
persoalan kepada dasar landasan terbinanya jalan-jalan hukum, serta
mengembalikan kepada kaidah yang mengaturnya sehingga menjadi suatu ilmu yang
mempunyai banyak kaidah dan usul. Selanjutnya, orang-orang yang asalnya berdiri
di atas periwayatan as-Sunnah dan takut membicarakan ar-ra’yu, kemudian
mengambil ar-ra’yu atas nama al-qiyas dan al-masalih al-mursalah, sebagaimana yang nampak jelas dalam kitab-kitab
madzhab 4 beserta kitab lainnya.[13]
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
pokok-pokok madzhab
Hanafi adalah sebagai berikut:
a.
Al-Qur'an, yang merupakan sumber tasyrik yang
utama.
b. Hadits Rasulullah SAW
yang memiliki kualitas shahih.
c.
Pendapat para sahabat (aqwal as-sahabah),
karena kepada merekalah al-Qur'an pertama kali diturunkan dan merekalah yang
paling banyak mengetahui sebab turunnya al-Qur'an.
d.
Qiyas, Abu Hanifah menggunakannya jika tidak menemukan nash
dari ketiga sumber di atas. Yang dimaksud dengan qiyas adalah penyetaraan hukum
sebuah masalah yang tidak ada dasarnya dengan masalah lain yang ada nashnya
dengan syarat bahwa terdapat persamaan ‘illat (alasan) di antara kedua masalah
itu.
e.
Istihsan. Abu Hanifah menggunakan istihsan ketika ‘illat tidak
memenuhi seluruh persyaratan al-maqis ‘alaih (suatu kasus yang kasus
lain diqiyaskan kepadanya), qiyas menyalahi nash karena qiyas digunakan ketika
nash tidak ada, atau qiyas menyalahi ijmak atau ‘urf.
f.
Ijmak, yaitu kesepakatan ulama dari masa ke masa tentang
sebuah hukum, setidaknya ijmak ulama sampai masa hidup Abu Hanifah.
g. ‘Urf, yaitu perbuatan hukum kaum muslim
yang lumrah tentang suatu masalah yang tidak ada dasarnya pada al-Qur'an, hadits
dan perkataan sahabat.
b.
Kritik dan saran
Penulis
menyadari sepenuhnya, makalah ini masih banyak kekurangan dan bahkan
menimbulkan banyak pertanyaan yang belum sempat terjawab. Oleh karena itu,
kritik, saran dan masukan yang konstruktif sangat penulis harapkan dari
berbagai kalangan demi perbaikannya ke depan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi seluruh pembaca, terutama bagi mahasiswa IAIN MATARAM. Bagi
penulis, semoga mendapat ridho Allah, sebagai amal sholeh dan menjadi ilmu yang
bermanfaat fid al danya wa al akhirat. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Wahab Khallaf, Khulasah Taarikh Tasyri’ al-Islami, terj. Ahyar
Aminudiin, Perkembangan Sejarah Hukum Islam, Bandung: Pustaka Setia,
2000
Departemen
Agama RI, Pengantar Ilmu Fiqh, Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan
Agama
Islam: Proyek Pembinaan PTA/IAIN Pusat,
1981.
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1995
Said
Agil Husin al-Munawwar, “Madzhab Fiqh” dalam Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, Jilid III, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th..
Ahmad Sjalaby, Pembinaan
Hukum Islam, cet. II, Djakarta: Djajamurni, t.th
[1]
Ahmad Sjalaby, Pembinaan Hukum Islam, cet. II,
Djakarta: Djajamurni, t.th., hlm. 103.
Agama Islam: Proyek Pembinaan PTA/IAIN Pusat, 1981, hlm 74
[3] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,
PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1995, cet ke-1, hlm 79
[4] Said Agil Husin al-Munawwar, “Madzhab Fiqh” dalam
Taufik Abdullah (ed.), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
Jilid III, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
t.th.), hlm. 229.
[5]
Said Agil
Husin al-Munawwar, op. cit., hlm. 229.
[7]
Lihat
Ahmad Sjalaby, op. cit., hlm. 104.
[8]
Said Agil
Husin al-Munawwar, loc. cit.
[9]
Dikutip
dalam Ahmad Sjalaby, loc. cit.
[10]
Ibid.
[12] Abdul Wahab Khallaf, Khulasah Taarikh Tasyri’
al-Islami, terj. Ahyar Aminudiin, Perkembangan Sejarah Hukum Islam,
Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar