KONSEP IMAN DALAM AJARAN ALIRAN MU’TAZILAH
Kemunculan
aliran mu’tazilah dalam pemikiran toelogi islam diawali oleh masalah yang
hampirsama dengan kedua aliran yaitu khawarij dan murjiah, mengenai status
pelaku dosa dosa besar .Apakah masih beriman atau menjadi kafir .Bila Khawarij
megkafirkan pelaku dosa besar dan murjiah memelihara keimanan pelaku dosa besar
,.Mu’tazilah tidak menentukan yang pasti bagi
pelaku dosa besar apakah tetap
mukmin atau kafir,kecuali dengan sebutan telah terkenal al manzilah bain manzilatain .setiap pelaku dosa besar menurut
mu’tazilah menepati posisi tengah, diantara
posisi mukmin dan kafir.Jika menginggal dunia sebelum bertaubat ,dia akan dimasukkan kedalam neraka
selama-lamanya .Namun,siksaan yang di terimanya lebih ringan dibandingkan
dengan orang kafir.
dalam perkembangannya kemudian,beberapa tokoh mu’tazilah seperti wasil bin Atha
dan amr bin Ubait memperjelah sebutan itu dengan istilah fasiq yang bukan
mukmin dan kafir,yang dikatagorikan
sebagai netral dan indefenden . Seluruh pemikir mu’tazilah sepakat bahwa amal
perbuatan salah satu unsur penting dalam konsep iman ,bahkan konsep mereka
hampir mengidentikkan dengan iman .Ini mudah dimengerti karna konsep mereka
tentang amal sebagai bagian penting keimanan memilikik kertekaitan langsung
dengan masalah janji dan ancaman yang merupakan salah satu pancasila dan
mu’tazilah.
Aspek penting lainnya dalam konsep mu’tazilah tentang
iman adalah tentang apa yang di identifikasikan sebagai makrifat dalam pengetahuan dan akal.Ma,rifat menjadi
unsur yang tak kalah penting dari iman
karna pandangan mu,tazilah yang bercorak rasional.Ma,rifat sebagai unsur
pokok rasional dari iman berimplikasi pada setiap penolakan keimanan
berdasarkan otoritas orang lain (al iman bi attaklid).Disini terlihat bahwa
mu,tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis penggunaan akal bagi
keimanan .Harus Nasution menjelaskan bahwa menurut Mu’tazilah segala
pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal dan segala pengetahuan dapat
di ketahui dengan pemikiran yang mendalam.dengan demikian ,menurut mereka,iman
seseorang dapat dikatakan benar apabila didasarkan pada akal bukan pada taklid
orang lain .Mengenai apa yang saja yang dikatakan sebagai dosa besar,aliran
Mu’tazilah agaknya merumuskan dengan lebih konseptual ketimbang aliran
Khawarij.Yang dimaksud dosa besar menurut mereka adalah segala ancamannya disebutkan secara
tegas dalam nash,sedangkan dosa kecil adalah sebaliknya ,yaitu segala ketidak
patuhan yang segala ancamannya tidak
disebutkan secara tegas di dalam nash.
Masalah peluktuasi iman,yang merupakan persoalan teologi
yang di wariskan aliran Murjiah ,disinggung pula mu’tazilah. Mereka berpendapat
bahwa manakala seseorang meningkatkan dan melaksanakan amal kebaikannya
,imannya semakin bertambah.Setiap kali berbuat maksiat imannya semakin
berkurang kenyataan ini dapat dipahami Mu’tazilah,seperti halnya Khawarij
,memasukkan unsur amal sebagai unsure penting dalam iman (al amal juzun min al
iman).
Bagi mu,tazilah tuhan
harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemaha Esaannya.Tuhanlah
satu-satunya yang esa,yang unik dan tak
ada satupun yang menyamainya oleh karena itu,hanya dialah yang Kadim,bila ada
yang kadim lebih dari satu,maka telah terjadi ta’addud al-qudama(berbilangnya zat yang tak berpemulaan)
Untuk memurnikan ke
Esaan Tuhan (tanzih).Mu’tazilah menolak konsep:
1. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT.
Mu’tazilah
mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti al-’Alim, al-Qadim, al-Qahir,
al-Qadir, al-Qawi, al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang terkandung dalam
al-asma’ al-husna, karena al-Qur’an mengakui hal tersebut. Selanjutnya mereka
membagi sifat-sifat itu ke dalam dua kategori: Pertama, sifat yang berkenaan
dengan esensi Tuhan, disebut Shifah dzatiyah, dan Kedua, sifat yang berkenaan
dengan tindakan Allah dan berkaitan dengan makhluk, dikategorikan Shifat
fi’liyah. Hanya saja Mu’tazilah tidak mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut
sebagai suatu tambahan terhadap Dzat Allah (za’idah ‘ala al-dzat) atau berada
di luar Dzat (wara’ al-dzat) sebagaimana pandangan Asya’irah. Mu’tazilah
berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Dzat itu sendiri (‘ain al-dzat) .
Karena jika sifat itu za’idah ‘ala al-dzat, berarti dia berada diluar Dzat, dan
akan menyebabkan banyaknya jumlah yang Qadim (ta’addud al-qudama’), yaitu: Dzat
Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, Kehidupan Allah, Kehendak Allah dan
seterusnya. Hal ini bertentangan dengan Tauhid, karena seharusnya yang Qadim
itu hanya Dzat Allah. Oleh sebab itulah sebagian besar mereka mengatakan:
Allah
Mengetahui dengan Dzat-Nya, bukan dengan Ilmu-Nya, Berkuasa dengan Dzat-Nya
bukan dengan Kuasa-Nya, dan Berkehendak dengan Dzat-Nya bukan dengan
Kehendak-Nya”.
2. Mengatakan al-Qur’an makhluk.
Mereka
mengatakan bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan sifat Ilmu dan Qudrah
(Kuasa), sebab hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah huruf-huruf yang teratur
dan bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun ghaib . Kalam bukanlah
sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun dia hanyalah sebuah istilah, yang
tidak mungkin ada/terwujud kecuali melalui lidah. Dan Allah SWT sebagai
Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu. Hakikat-hakikat yang mereka
simpulkan inilah yang menyebabkan mereka mengatakan bahwa kalam itu adalah
sesuatu yang bersifat baru (hadits), tidak bersifat qadim, sehingga pada
gilirannya al-Qur’an sebagai Kalamullah adalah sesuatu yang hadits, dan sesuatu
yang hadits itu adalah makhluk.
Jadi Mu’tazilah
mengatakan al-Qur’an makhluk adalah sebagai hasil nalar mereka bahwa perkataan
(kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim seperti ilmu dan sebagainya,
tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur dan suara yang jelas, baik
nyata atau ghaib.
3. Mengingkari bahwa Allah SWT dapat dilihat
dengan mata telanjang.
Mu’tazilah
memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata
telanjang di akhirat, Membawa pada ide yang sangat bertentangan dengan Tauhid
yaitu tasybih, menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena menurut mereka,
Ru’yah (pandangan) adalah kontak sinar (ittishal syu’a') antara “yang melihat”
dengan “yang dilihat”, dan mereka memberikan satu syarat agar ru’yah itu bisa
terjadi yaitu binyah (tempat/media), dan ru’yah tersebut mesti berhubungan
dengan benda nyata (maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian, oleh karena
itulah mereka mengatakan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT.
Dengan pendapat
yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap ayat yang menggambarkan
kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR
“Wajah-wajah (orang-orang
mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS.
al-Qiyamah: 22-23)
Mereka
mengatakan bahwa kata (ناظرة) di sana tidak berarti melihat (رؤية) malainkan
menunggu (انتظر) dan kata (إلى) bukanlah huruf jar melainkan musytaq (pecahan
kata) dari kata (الآلاء) yang berarti nikmat, sehingga maksud ayat adalah:
“Wajah-wajah itu menanti nikmat dari Tuhannya”.
Mereka juga mentakwil ayat:
ª!$# âqçR ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
“Allah cahaya langit dan
bumi” (QS. Al-Nur: 35)
Dengan
mengatakan bahwa bukan berarti Allah itu adalah cahaya yang bisa dilihat,
melainkan Allah memberikan cahaya kepada langit dan bumi.
Sedangkan
terhadap hadits yang menyatakan orang mukmin di sorga bisa melihat Allah bahkan
kondisinya sama dengan kondisi ketika kita melihat bulan purnama, hadits ini
tidak diterima oleh Mu’tazilah dan mengatakan terdapat cacat pada Sanad-nya.
4. Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
Ini sejalan
dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT, yaitu: “Bukan yang
memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang
dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan atau membatasi jihah
bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada suatu tempat dan tubuh (jism).Ide
seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam al-Qur’an yang
menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan ilmu-Nya, dan
mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan lain
sebagainya.
5. Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan
kesan adanya persamaan Tuhan dengan manusia.
Demikian juga
halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah juga memiliki anggota
tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil Wajah Allah dengan Dzat
Allah itu sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan, Kekuatan dan Nikmat Allah dan
lain sebagainya. Tujuannya tetap satu, yaitu Tanzih.
DAFTAR PUSTAKA
DR. Abdul
Rozak,M.Ag dan DR. rosihan anwar Mag. Ilmu kalam. Bandung:CV. Pustaka
setia,2001.
Drs. H. M
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Muhaimin, M., Ilmu Kalam, Sejarah dan Aliran-aliran,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2004
Mutohar, Ahmad, Teologi Islam
Konsep Iman, antara Mu’tazilah dan Asyari’ah, Yogyakarta: Teras, 2008
Nasution, Harun, Teologi Islam
Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI, 1972