A.
Kondisi Awal Periode Sahabat ( Khulafa
Ar-Rosidin )
Periode kedua dari masa perkembangan
fiqih ini bermula sejak meninggalnya Nabi Muhammad SAW., pada tanggal 8 Juni
632 M / 11 H dan berahkir ketika Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai
khalifah pada tahun 41 H ( 660 M ). Meninggalnya Nabi Muhammad SAW., merupakan
peristiwa yang tak diharapkan di Kota Madinah dan tentu saja mengejutkan para
sahabat. Tiga puluh tahun pasca Nabi Muhammad meninggal, persoalan umat muslim
pada periode ini ditangani oleh sahabat.
Periode ini dikenal dengan periode
sahabat yaitu masa para Khulafa Ar-Rasyidin. Urutannya sebagai berikut : Abu
Bakar adalah sahabat pertama yang terpilih menjadi pengganti Nabi Muhammad
SAW.,Abu Bakar ( 632 M – 634 M ) diganti oleh ‘Umar bin Khatthab ( 634 M – 644
M ), ‘Umar bin Khatthab diganti oleh Utsman bin Affan ( 644 M – 656 M ), dan
Utsman bin ‘Affan diganti oleh ‘Ali bin Thalib ( 656 M – 661 M ).
Pada periode ini, daerah kekuasaan
Islam bertambah luas, bahkan mencakup daerah-daerah di luar Semenanjung Arabia
yang sudah memiliki kebudayaan yang tinggi dan stuktur masyarakat yang maju
jika dibandingkan dengan masyarakat Arab ketika itu. Pada masa ini, Islam mulai
berkembang dan melebarkan sayapnya dan mengibarkan panji-panji Islam dalam
menjalankan misinya ke berbagai daerah di sekitar jazirah Arab, seperti Irak,
Syria , Mesir daerah-daerah di Afrika Utara dan belahan dunia lainnya (Dedi
Supriyadi, 2007 : 67 ).
B.
Ijtihad Sahabat dalam Penggalian Hukum Islam
Setelah Nabi Muhammad SAW., wafat,
timbul dua pandangan yang berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat Islam dan
hal ini berhubungan langsung dengan otoritas penetapan hokum. Kelompok pertama,memandang
bahwa otoritas untuk menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna
Al-Qur’an setelah Nabi Muhammad SAW., wafat dipegang oleh Ahlul Bait.Hanya
merekalah menurut nashdari Nabi Muhammad., yang harus dirujuk dalam
menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini
tidak memperoleh kesulitan dalam menghadapi terhentinya wahyu karena setelah
Nabi Muhammad.,wafat masih terdapat para ahli waris yang terjaga dari kesalahan
( ma’shum ) dan mengetahuimakna Al-Qur’an, baik dalam dataran eksoteris ( luar
) maupun dalam dataran esoteric ( dalam ). Kelompok ini dikenal dengan kelompok
Syiah.
Kelompok yang keduaberpendapat
bahwa Nabi Muhammad SAW.,tidak menentukan dan tidak pula menunjuk penggantinya
sebelum beliau meninggal dunia untuk menafsirkan dan menetapkan
perintah-perintah Allah. Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah sumber hukum untuk
menarik hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di
masyarakat.Mereka kelak dikenal sebagai kelompok Ahli Sunnah atau Sunni.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa
pengganti Nabi Muhammad SAW.,adalah Abu Bakar sebagao wakil dari kelompok Ahli
Sunnah. Sementara ‘Ali wakil dari kelompok Syiah menjadi khalifah keempat.
Artinya, Khalifah Abu Bakar menjadi pengemban pertama misi kerasulan pasca Nabi
Muhammad SAW.,meninggal dengan segala problematika umat pada saat itu. Untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang baru muncul tersebut, para sahabat
kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah. Hanya saja, sebagaimana diketahui, ayat-ayat
yang berkenaan dengan hokum jumlahnya sedikit dan tidak pula semua persoalan
yang timbul dapat dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
Untuk menyelesaikan persoalan yang
tidak dijumpai dalam kedua sumber hokum inilah, khalifah dan para sahabat
berijtihad.Secara operasional, tiap-tiap khalifah berbeda dalam menggali hukum,
misalnya Khalifah Abu Bakar, apabila ia tidak mendapatkan hukum dalam al-Qur’an
dan Sunnah, ia mengumpulkan para ulama’ sahabat dan merembukkan hal
tersebut.Kemudian, apabila para sahabat bersepakat menetapkan suatu pendapat,
Abu Bakar pun menetapkan hukum sesuai dengan pendapat yang disepakati.Sebagai
contoh, ijma’ sahabat tentang pengumpulan Al-qur’an dalam satu mushaf pada masa
Khalifah Abu Bakar.
Pola ijtihad Khalifah Abu Bakar
dapat dilihat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Baghawi dari Maimun bin
Mahram, yang artinya :
“ Abu Bakar, apabila diadukan
kepadanya perselisihan, ia melihat pada Kitabullah. Bila ditemukan hukum yang
dapat memutuskan perkara mereka, ia putuskan dengan hokum tersebut. Akan
tetapi, bila tidak mendapatkan dalam Kitabullah dan mengetahui Sunnah
Rasulullah tentang hal tersebut, ia memutuskan dengan Sunnah tersebut. Bila tidak
ditemukan juga ( dalam Sunnah , ia bertanya kepada sahaba, ‘ Apakah di antara
kalian ada yang tahu Rasulullah menetapkan hokum dalam masalah ini ? Terkadang,
beliau memperoleh berita bahwa Rasulullah pernah memutuskan perkara seperti itu
dan terkadang tidak.
Umar bin Khattab juga melakukan hal
yang sama. Bila tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah, maka ia melihat apakah
Abu Bakar pernah memutuskan permasalahan serupa ?bila Abu Bakar pernah
memutuskannya dengan suatu keputusan, ia pun memutuskannya dengan keputusan Abu
Bakar. Akan tetapi, bila tidak ditemukan, ia mengundang para tokoh masyarakat.
Apabila dicapai kesepakatan, Umar pun memutuskan perkara dengan hasil keputusan
tersebut.
Meskipun jalan ijtihadnya sama, ada
perbedaan mendasar pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, yakni di masa Abu
Bakar, jumlah ulama’ yang dikumpulkan untuk berembuk masih sedikit sehingga
ijma’ masih dapat dijalankan dengan mudah. Berbeda halnya di zaman Khalifah
Umar, mengadakan ijma’ mulai sulit, karena para sahabat terpencar di
daerah-daerah baru yang jatuh di bawah kekuasan Negara Islam. Di antara mereka,
ada yang tinggal di Mesir, Suria, Irak,dan Persia. Namun demikian, karena para
ulama’ sahabat mempunyai wibawa besar, ijtihad mereka mudah diterima oleh
masyarakat umum.Tegasnya, para sahabat yang memegang kewenangan berijtihad pada
periode ini menetapkan hokum berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.Setelah mereka
menyelidiki dengan sungguh-sungguh barulah berijtihad.
Khalifah ketiga adalah Utsman bin
‘Affan. Di antara pendapat Utsman bin ‘Affan adalah bahwa istri yang dicerai
oleh suaminya yang sedang sakit, kemudian suaminya meninggal dunia karena sakit
tersebut, mendapatkan harta pusaka, baik ia ( istri ) dalam waktu tunggu maupun
tidak. Selain itu, Utsman bin ‘Affan membuat mushaf Al-Qur’an yang terkenal
dengan mushaf Utsmani, maka pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan ( 65 – 86
H ), Al-Qur’an diberi tanda sakal dan titik atas jasa Abu Aswad Addauly dan
hadits dikodifikasi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz ( 99 H – 101 H ).
Khalifah keempat adalah ‘Ali bin Abi
Thalib. Di antara pendapat ‘Ali ibn Abi Thalib adalah: Pertama, dalam Al-Qur’an
terdapat larangan meminum khamr yang keharamannya ditetapkan secara
berangsur-angsur. Akan tetapi, dalam tiga ayat tersebut tidak terdapat sanksi
bagi yang melanggar keharaman tersebut ( Dedi Supriyadi, 2007 : 68 - 73 ).
Perkembangan fikih selanjutnya adalah pada masa shighar
sahabat dan tabi’in (41-100 H / 661 – 750 M). Periode ini bermula pada saat
pemerintahan ummat Islam diambil alih oleh Mu’awiyah bin Abi Sofyan (41 H)
setelah melalui pergumalan politik yang panjang antara Mu’awiyah dan Ali bin
Abi Thalib yang berakhir dengan terbunuhnya Ali bin Abi Thalib dan penyerahan
pemerintahan dari Hasan bin Ali kepada Muawiyah ( Muhammad Khudori Bik,tt : 133 – 137 ).
Ibn al-Qayyim mencatat bahwa fiqh masa sahabat kecil dan tabi’in
ini disebarkan oleh para pengikut 4 sahabat terkemuka yaitu Ibn Mas’ud, Zaid
ibn Tzabit, Abdullah ibn Umar dan Abdullah ibn Abbas. Orang Madinah mengambil
fiqh dari Zaid ibn Tsabit dan Abdullah ibn Umar, orang Mekah diwarisi oleh
fikih Abdullah ibn Abbas dan orang Irak diwarisi oleh fikih Abdullah ibnu
Mas’ud. Sedangkan ulama dari kalangan tabi’in bisa dicatat beberapa tokoh
utamanya yaitu Atha ibn Rubah, Amr ibn Dinar, Ubaidah ibn Umair dan Ikrimah di
Mekkah, Amr ibn Salamah, Hasan Bashri, Sakhtayani dan Abdullah ibn Auf di
Bashrah, Alqamah ibn Qais an-Nakha’i, Syuraih ibn Haris dan Ubadah ibn Salmani
di Kufah, Yazid ibn Abi Habib dan Bakir ibn Abdullah di Mesir, Hisyam ibn Yusuf
dan Abdurrazaq ibn Hammam di Yaman dan banyak lagi fuqaha di Irak ( Ibnu al-Qoyyim,tt : 21 )
Mereka menjadi guru-guru yang terkenal di daerah
masing-masing dan mengikuti metode ijtihad sahabat yang ada di daerah mereka.
Dari perbedaan metode yang dikembangkan, maka munculah dalam peta pemikiran
fikih dengan Aliran Hijaz (Madrasah al Hadits) dan Aliran Kufah
(Madrasah al Ra’yu). Kedua aliran ini menganut prinsip yang berbeda dalam
metode ijtihad. Aliran Hijaz dikenal sangat kuat berpegang pada hadits
karena mereka banyak mengetahui hadits-hadits Rasulullah saw, disamping kasus-kasus
yang mereka hadapi bersifat sederhana dan pemecahannya tidak memerlukan logika
dalam berijtihad. Adapun Aliran Kufah dalam menjawab hukum lebih banyak
menggunakan logika dalam berijtihad. Berijtihad menggunakan logika terus
berkembang dalam rangka menjawab persoalan-persoalan baru yang terjadi sehingga
lahirlah madzab-madzab awal dalam perkembangan fikih.
C.
Mufti – Mufti di Masa Sahabat
Diantara mufti-mufti yang terkenal
dari pada sahabat, antara lain :
a.
Madinah
1.
Zaid bin Tsabit
( wafat tahun 45 H )
2.
Ubay bin Ka’ab
( wafat tahun 21 H )
3.
Abdullah bin
‘Umar ( wafat tahun 73 )
4.
Aisyah ( wafat
tahun 57 H )
b.
Makkah
1.
Abdullah bin
Abbas ( wafat tahun 68 H )
c.
Kuffah
1.
Ali bin Abi
Thalib ( wafat tahun 40 H )
2.
Abdullah bin
Mas’ud ( wafat tahun 32 H )
d.
Bashrah
1.
Abu Musa Al-‘Ash’ari
( wafat tahun 44 H )
e.
Syam
1.
Mu’azd bin
Jabal ( wafat tahun 18 H )
2.
Ubadah bin
Shamit ( wafat tahun 34 H )
f.
Mesir
1.
Abdullah bin
Amr ( wafat tahun 65 H )
Ada sejumlah lebih kurang 130
sahabat yang bertindak sebagai mufti.Yang mendapat polularitas yang luas dalam
masyarakat ialah tokoh-tokoh di atas. Kebanyakan mereka itu pada mulanya
tinggal di Madinah, kemudian berpindah ke kota-kota lain. Oleh karena itu, pada
mulanya ijtihad mereka bersifat ijtihad jam’iyah ( bersama ), setelah mereka
pindah ke kota-kota lain barulah mereka ijtihad secara perseorangan ( pribadi
).
Adapun motif-motif untuk berijtihad
para sahabat adalah ;
1.
Materi
undang-undang asasi tidak mungkin difahami oleh semua umat Islam.
2.
Materi
undang-undang tidak tersebar luas dalam masyarakat. Nash-nash Al-Qur’an
dihimpun dalam lembaran-lembaran tertentu dan disimpan di rumah Rasul dan
sebagian sahabat.
3.
Materi
undang-undang yang telah ada hanya mengenai kejadian-kejadian yang telah ada
saja dan hokum-hukum mengenai kejadian yang belum dan mungkin akan terjadi
belum disyari’atkan, sedangkan
masyarakat terus-menerus menghadapi
persoalan-persoalan dan setiap masa tertentu terjadi transisi dan peristiwa
yang memerlukan penjelasan hokum.
(
Hasbi Ash-Shiddieqy,1967 :43-44 )
D.
Kondisi Hukum Islam ( Fiqih ) dan
Perkembangannya pada Masa Sahabat
Madzab pertama terbentuk mula-mula dari beberapa
pemikiran mandiri (ra’y) dari ulama secara perorangan secara tidak
resmi, tapi lama kelamaan ia makin mendapat pengabsahan yang kokoh dari
masyarakat, akhirnya secara bertahap tumbuh kesepakatan pendapat antara para
ulama di tempat tertentu mengenai himpunan doktrin tertentu.
Sebenarnya, pada masa tabi’in terdapat 3 bagian geografis
yang besar dalam dunia Islam, yaitu Irak, Hijaz dan Mesir. Irak sendiri
memiliki 2 madzab yaitu Bashrah dan Kufah. Perkembangan pemikiran
hukum di Kufah lebih dikenal dari pada di Bashrah. Hijaz juga memiliki
2 pusat kegiatan hukum yaitu Makkah dan Madinah. Namun, Madinah lebih menonjol
dari pada Makkah. Madzab Syiria kurang tercatat dalam teks-teks buku awal.
Mesir tidak dimasukkan dalam peta
madzab-madzab hukum awal karena ia tidak mengembangkan pemikiran hukumnya
sendiri. Dengan demikian, madzab yang akan dikaji di sini adalah Madzab
Kufah dan Madzab Madinah.
Para fuqaha yang berdomisili di Irak (Kufah) cenderung
untuk menggunakan rasio dalam skala yang cukup luas dan memandang hukum syariat
dalam takaran rasionalitas. Mereka gemar menyelami nash-nash yang ada dalam
rangka menemukan ’illah, hikmah dan tujuan-tujuan moral yang berada
dibalik hukum yang tampak. Kecenderungan baru ini mendapatkan tanggapan kritis
dari para fuqaha yang tinggal di Hijaz (Madinah) yang memandang hukum
sebagai ketentuan Allah yang wajib diikuti. Mereka lebih memilih memahami nash
secara tekstual dan menganggap fatwa sahabat sebagai sumber hukum setelah Al
Qur’an dan As Sunnah. Perkembangan lebih lanjut dari 2 kecenderungan ini
melahirkan dua aliran dalam fiqh masa awal yaitu ahl al-ra’y di Kufah
dan ahl al-hadits di Madinah.
Dengan demikian, cara melakukan ijtihad pada masa tabi’in
mengarah kepada 2 bentuk, yaitu :
Pertama, lebih banyak menggunakan hadits atau sunnah
dibandingkan dengan ra’yu. Cara ijtihad ini berkembang dikalangan ulama Madinah
dengan tokohnya 1) Sa’id ibn al Musayyab, 2) ’Urwah Ibn Az-Zubair, 3) Abu Bakar
Ibn ’Abd Rahman Al-Harits Ibn Hisyam Al-Makhzumi, 4) ’Ubaid Allah Ibn ’Abdullah
Ibn ’Utbah Ibn Mas’ud, 5) Kharijah Ibn Zaid Ibn Tsabit, 6) Al-Qasim Ibn
Muhammad Ibn Abi Bakr, 7) Sulaiman Ibna I-Yasar, Fuqaha Tujuh merupakan
thabaqah pertama dalam madrasah Madinah. Thabaqah keduanya adalah : 1) ’Abd
Allah Ibn ’Abd Allah Ibn ’Umar, 2) Salim Ibn ’Abd Allah Ibn ’Umar, 3) Aban ibn
Utsman Ibn ’Affan, 4) Abu Salamah Ibn ’Abdurrahman Ibn ’Auf, 5) ’Ali Ibn
Al-Husain Ibn ’Ali Ibn Abi Thalib, 6) Nafi’ Maula Ibn ’Umar. Diantara ulama
thabaqah ketiga Aliran Madinah adalah : 1) Abu Bakr Muhammad Ibn ’Amr Ibn Hazm,
2) Muhammad Ibn Abu Bakr, 3) ’Abd Allah Ibn Abu Bakr, 4) ’Abdullah Ibn Utsman
Ibn ’Affan, 5) Ja’far Ibn Muhammad Ibn ’Ali Ibn Al-Husain, 6) ’Abdullah Ibn
Al-Qasim Ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddiq, 7) Muhammad Ibn
Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri. Cara ini lebih dikenal dengan sebutan ”Aliran
Madinah”.
Kedua, lebih banyak menggunakan ra’yu dibandingkan
dengan penggunaan sunnah. Cara ijtihad ini berkembang dikalangan ulama Kufah
dengan tokoh 1) Ibrahim an-Nakha’i, 2) ’Alqamah Ibn Qais An Nakha’i, 3) Al-Aswad
Ibn Yazid An-Nakha’i, 3) Abu Maisarah ’Amr Ibn Syarahil Al-Hamdani, 4) Masruq
Ibn Al-Ajda’ Al-Hamdani, 5) ’Ubaidah As-Salmani, 6) Syuraih Ibn Al-Harits
Al-Kindi, mereka adalah thabaqah pertama Madrasah Kufah, sedangkan
diantara ulama thabaqah keduanya adalah : 1) Hamad Ibn Abi Sulaiman, 2)
Manshur Ibn Al-Mu’tamir As-Salami, 3) Al-Mughirah Ibn Muqsim Adh-Dhabbi, 4)
Sulaiman Ibn Mahran Al-A’masy, cara ini
lebih dikenal dengan sebutan ”Aliran Kufah”.
Ada 2 kecenderungan penting pada kedua madzab itu. Pertama, lahir metode deduksi-logis
dalam bentuk qiyas. Namun karena cara berfikir analogis ini terkesan kaku, maka
ditemukan metode berfikir yang lebih longgar, sebagai pengembangan dari qiyas,
yaitu istihsan. Ini menunjukkan kembalinya kebebasan berpendapat dalam bentuk
baru. Kedua, makin diperkokohnya konsep sunnah yang cenderung mengklaim
generasi pendahulu sebagai sumber dalam rangka mengkokohkan tradisi. Kesamaan
keduanya terletak pada metode dan garis perkembangan yang sama, yakni meninjau
praktek hukum dan politik setempat dari sudut pandang kaidah tingkah laku dalam
Al Qur’an. Namun sistem hukum mereka berbeda jauh yang disebabkan perbedaan
ruang. Kebebasan pendapat yang dinikmati ulama Kufah membuahkan perbedaan
pendapat yang tidak sedikit.
Secara geografis dan psikologis madzab Kufah lebih
terbuka terhadap sistem hukum dari luar. Hal ini berbeda dengan situasi Madinah
yang lebih homogen. Kemudian muncul oposisi terhadap metode hukum yang sudah
mapan diterima oleh madzab-madzab pertama. Cirinya, dogmatis, ketat dan kaku.
Mereka menuntut ketaatan yang lebih kuat terhadap norma-norma Al Qur’an. Namun
mereka sepakat dengan madzab-madzab pertama dalam memproyeksikan sunnah ke
belakang yang menjadikan Nabi Muhammad sebagai sumber utama hukum Al Qur’an. Oposisi
ini lama-kelamaan mendorong madzab-madzab pertama untuk memodifikasi sistem
hukumnya. Banyak aturan ketat yang dianjurkan oposan akhirnya diterima secara
umum. Yang penting adalah meningkatkanya penerimaan Nabi sebagai sumber ajaran,
dengan menyatakan ajaran tersebut dalam bentuk hadits. Sejalan dengan
perkembangan tulis menulis dibidang hukum, terjadi perubahan pada tubuh
madzab-madzab pertama. Ide keterkaitan tempat kemudian digantikan dengan
keterkaitan pada tokoh penyusun buku hukum pertama. Madzab Madinah menjadi Madzab
Malik, sedangkan madzab Kufah menjadi Madzab Hanafi.
Selanjutnya, pertentangan antara madzab-madzab pertama
yang mapan, dan kaum oposisi yang dogmatis kini mengkristal menjadi konflik
antara penganut kelonggaran pendapat pribadi (ahl al-Ra’y) dan penganjur
penggunaan hadits Nabi semata secara ketat (ahl al-hadits). Lebih jauh
perbedaan pendapat tidak hanya terjadi antara satu madzab dengan madzab yang
lain, tetapi juga didalam masing-masing madzab. Hal ini menjadikan tidak adanya
keseragaman hukum merupakan ciri utama hukum di masa itu.
Kesimpulannya, meskipun ulama tabi’in dalam berijtihad
mengikuti petunjuk dari cara berijtihad ulama sahabat di masing-masing kota,
namun dalam beberapa hal mereka berbeda pendapat dengan ulama sahabat, bahkan
berebada dengan apa yang berlaku pada zaman Nabi. Qadi Syuraih dan beberapa
ulama tabi’in, misalnya berfatwa tidak menerima kesaksian salah seorang
suami-istri terhadap yang lain di peradilan dan kesaksian orang tua terhadap
anaknya dan anak-anak terhadap orang tuanya. Fatwa tersebut berebeda dengan
ketetapan khalifah Ali bin Abi Thalib. Alasan yang dikemukakan Qadi Syuraih
adalah adanya unsur tuhmah dan kecintaan yang akan mempengaruhi mereka dalam
kesaksiannya. Demikian pula, ulama tabi’in menetapkan ketidak bolehan perempuan
keluar rumah untuk pergi ke masjid karena pada masa itu banyak orang yang usil
dan fasik yang selalu mengganggu perempuan. Padahal hal itu diperbolehkan pada
masa Rasulullah asalkan tidak memakai wewangian.
DAFTAR PUSTAKA
Dedy Supriady, Sejarah Hukum Islam, (
Bandung : CV. Pustaka Setia,2007)
Hasby Asy-Shiddieqy, Pengantar Ilmu
Fiqih, ( Jakarta : CV. Mulia, 1967)